“saya setelah melakukan riset dan tidak menemukan berita demo kemarin mengenai penolakan umat Islam terhadap Ahok. Kompas sama sekali tidak membuat berita satu pun mengenai peristiwa penting tersebut,” kata peneliti dari Universitas Leiden, Belanda Buni Yani di akun Facebook-nya.
Menurut Buni Yani, sangat mustahil redaksi Kompas tidak paham apa yang disebut sebagai “news values” dalam ilmu jurnalisme.
“Masa demo yang dihadiri oleh sekitar 10 ribu orang (versi Republika) dan seribu orang (versi Detik) tidak jadi berita? Sudah pasti ini merupakan kebijakan redaksi untuk tidak memberitakannya,” jelas Buni Yani.
Buni Yani melakukan riset dengan mengunjungi akun Twitter Kompas dan memeriksa berita yang diposting dalam waktu 24 jam terakhir. Tidak ditemukan ada berita mengenai demo penolakan ini.
“Alih-alih membuat berita yang bisa merugikan Ahok, yaitu berita penolakan tersebut, Kompas justru memposting setidaknya dua berita yang menguntungkan Ahok.
Kata Buni, berita yang menguntungkan Ahok, pertama, mengenai mantan Bupati Belitung Timur itu yang mengalahkan pamor pengantin ketika dia menghadiri satu undangan perkawinan.
Buni Yani mengatakan, kebijakan pemberitaan Kompas sama dilakukan oleh Media Indonesia, koran lain yang juga mendukung Ahok.
“Tak ditemukan satu pun berita yang sama diposting di akun Twitter-nya dalam waktu 24 jam terakhir,” jelas Buni Yani.
Kata Buni Yani, Edward Said dalam buku “Culture and Imperialism” (1993) menggunakan teknik atau metode yang disebut sebagai “contrapuntal reading” dalam memahami teks yang ditelitinya.
“Metode ini mencari yang tidak dikatakan atau dihilangkan dalam teks untuk memahami isi pikiran pembuatnya. Jadi, kita bisa tahu isi pikiran Kompas, juga Media Indonesia, dalam merespon penolakan umat Islam terhadap Ahok. Suara mereka sengaja dihilangkan dengan tidak dijadikan berita,” pungkas Buni Yani. [snc]