“ANALISIS YURIDIS IZIN PRESIDEN DALAM PROSES HUKUM TERHADAP AHOK SANG PENISTA AGAMA” (bag 1)

0
7424

 

a-chair-r-jpg1

Oleh : DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM.

Proses hukum terhadap petahana oleh Bareskrim “semakin jelas ketidakjelasannya”! Di sisi lain dukungan masyarakat demikian kuat agar Bareskrim segera melakukan langkah-langkah hukum terkait penistaan agama dan penghinaan terhadap ulama yang dilakukan oleh petahana. Berbagai spekulasi mulai bermunculan terkait dengan pengajuan izin kepada Presiden dimaksud.

Menjadi menarik untuk dilakukan kajian yuridis tentang ketentuan Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yakni dengan adanya frasa tindakan “penyidikan” yang dilanjutkan dengan “penahanan”. Bunyi lengkap Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai berikut, ”Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan terhadap Gubernur dan/atau Wakil Gubernur memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden dan terhadap Bupati dan/atau Wakil Bupati atau Wali Kota dan/atau Wakil Wali Kota memerlukan persetujuan tertulis dari Menteri.” Penjelasan Pasal 90 tidak memberikan penjelasan alias “cukup jelas”. Persoalannya, kita tidak mengetahui apakah maksud permintan Bareskrim kepada Presiden, apakah hanya untuk melakukan penyidikan atau hendak melakukan penyidikan dan kemudian dilakukan penahanan.

Dilihat dari kontruksinya Pasal 90 ayat (1) ini mengandung implikasi praktis dalam proses penerapan hukum acara oleh Bareskrim. Pada prinsipnya tindakan penyidikan dan tindakan penahanan adalah dua bentuk tindakan yang berbeda, namun dengan adanya kata  “dilanjutkan” diantara kata “penyidikan” dan “penahanan” telah menimbulkan pertanyaan yang cukup krusial. Pertama, apakah untuk memulai penyidikan harus memerlukan persetujuan tertulis Presiden terlebih dahulu atau tidak.  Kedua, apakah persetujuan tersebut diperlukan hanya dalam rangka tindakan penahanan saja.

Diihat dari penafsiran secara gramatikal, kata-kata “tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan” jelas menunjukkan bahwa penahanan membutuhkan tindakan pendahuluan berupa penyidikan dan ditetapkannya sebagai “tersangka”, namun penyidikan yang mengarah kepada penahanan membutuhkan adanya izin Presiden. Hal ini dapat diketahui dengan kata penghubung “dilanjutkan”, sekiranya tidak ada kata “dilanjutkan”, maka pemaknaannya tentu akan menjadi lain.

Ditinjau dari penafsiran sistematis, dapat dilihat dengan Undang-Undang sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 , jika terhadap Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah hendak dilakukan penyelidikan dan penyidikan, maka hal itu wajib dimintakan persetujuan tertulis dari Presiden. Selanjutnya, jika telah dilakukan penyelidikan/penyidikan dan penyidik memandang perlu dilakukan penahanan, maka untuk dilakukannya penahanan itu harus dimintakan persetujuan tertulis dari Presiden. Kontruksi dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menunjukkan adanya permintaan persetujuan dari Presiden terhadap dua bentuk tindakan yang berbeda, yakni pada saat akan dilakukan penyelidikan dan penyidikan, dan pada saat akan dilakukan penahanan. Pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tidak menggunakan frasa “tindakan penyelidikan dan penyidikan” tetapi menyebut “tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan”..

Penulis adalah :

Doktor Hukum Ketahanan Nasional pertama di Indonesia (UNS-Surakarta), Konsultan Hukum, CEO Lisan Hal & Pengurus Komisi Hukum MUI Pusat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here