Dulu perjuangan para pahlawan seperti Tuanku imam Bonjol, pangeran Diponegoro dll adalah dalam rangka menegakkan syariat islam.
Tetapi akibat demokrasi perjuangan tegaknya syariat diganti dengan perjuangan menegakkan piagam Jakarta. Umat terpaksa menurunkan standard dan puas dengan piagam jakarta saja. Eeeh …ternyata Piagam jakarta juga gagal, sehingga lenyaplah kata ” syariat Islam ” dari kontitusi.
Dengan berjalannya waktu umat pun atas nama demokrasi dibuat lupa dengan penerapan syariat. Umat pun dibuat puas hanya dengan hadirnya pemimpin yang sholeh walaupun tidak memimpin dengan syariat.
Perjuangan bergeser dari penegakan syariat menjadi menjadi perjuangan memilih pemimpin sholeh walaupun tanpa syariat.
Fase berikutnya, ternyata mencari pemimpin sholeh yang bisa dipilih dengan cara demokrasi juga sulit bukan main. Akhirnya umat terpaksa menurunkan standardnya. Yang penting masih dekat dengan islam walaupun nggak sholeh sholeh amat dari pada yang sekuler.
Fase berikutnya, ternyata hal ini juga susah sehingga umat sekali lagi harus menurunkan standardnya. Yang penting masih islam walaupun sekuler daripada NONMUSLIM
Dan bila ini berjalan terus maka terpaksa umat ini akan pada titik paling bawah yang bahkan sudah nggak pakai standard lagi yaitu akan memilih diantara dua orang kafir. Kemudian kita akan saksikan mereka yang dianggap kader dakwah berkampanye untuk seorang calon pemimpin kafir dengan anggapan calon kafir ini lebih tidak memusuhi islam dibanding calon kafir lawannya.
Kejahatan demokrasi yang telah menipu umat.
Kejahatan demokrasi yang membuat tidak bisa mengusung agendanya sendiri yang sesuai dengan kehendak Allah dan Rosulnya
Masihkah kita memuja demokrasi