Memperingati 32 Tahun Harokah Al-Muqowwamah Al-Islamiyah -HAMAS .Intifadhah Batu , Rakyat Tetap Teguh Dan Spartan

0
432

Gaza – Pusat Informasi Palestina

Sudah 32 tahun berlalu sejak meletusnya intifadhah pertama, yang disebut dengan “Intifadhah Batu”. Peringatan intifadhah tahun ini bertepatan dengan berlanjutnya aksi Great March of Return (pawai kepulangan akbar) di Jalur Gaza yang sudah berlangsung selama 21 bulan secara berturut-turut. Aksi yang digelar sejak 30 Maret 2018 ini digelar untuk memprotes dan menolak berlanjutnya blokade di Jalur Gaza dan menyerukan hak kembali pengungsi Palestina ke tanah dan kampung halamannya.

Intifadhah Batu merupakan aksi massal terbesar untuk melawan pendudukan penjajah Israel setelah mereka menduduki sisa wilayah Palestina lainnya pada tahun 1967. Sebanyak 1.300 warga Palestina gugur syahid dan hampir 90.000 orang lainnya terluka.

Peringatan Intifadhah Batu kali ini juga berlangsung di tengah-tengah peristiwa penting dan konspirasi yang bertujuan untuk melikuidasi dan memberangus isu persoalan Palestina, mulai dari “kesepakatan abad ini” (the deal of century), pengetatan blokade di Jalur Gaza, hingga deklarasi Presiden Amerika Donald Trump soal al-Quds atau Yerusalem sebagai ibukota entitas pendudukan penjajah Israel dan pernyataan Menlu Amerika Mike Pompeo yang menyatakan bahwa permukiman-permukiman ilegal Yahudi di Tepi Barat adalah ilegal, ditambah tekad penjajah Israel untuk mencaplok wilayah Lembah Yordan ke dalam wilayah entitas penjajah Israel.

Hari-hari pertama pecahnya Intifadhah Batu ini bertepatan dengan keluarnya pernyataan pertama berdirinya Gerakan Perlawanan Islam Hamas dan dimulainya aksi dan operasi gerakan ini melawan pendudukan penjajah Israel.

Hamas telah menempuh jalan perlawanan dalam segala bentuknya, terutama perlawanan bersenjata, sebagai cara dan upaya untuk mengembalikan hak-hak Palestina yang dicuri dan dirampas oleh penjajah Israel. Gerakan Hamas menegaskan bahwa perlawanan adalah pilihan strategis untuk membebaskan tanah Palestina dan tempat-tempat sucinya, bekerja untuk mengkonsolidasikan budaya perlawanan dalam menghadapi budaya menyerah diri dan tunduk.

Pada hari-hari pertama Intifadhah Batu, gerakan Hamas bekerja untuk menggelorakan bara api perlawanan dengan berbagai sarana yang tersedia kala itu mulai dari menggunakan batu, pisau, katapel dan molotov. Gerakan Hamas juga membentuk organ-organ pemuda yang dipercayakan untuk melakukan aksi rakyat seperti membakar ban-ban bekas, menulis slogan-slogan revolusioner di tembok-tembok dan dinding-dinding, serta mengorganisir demonstrasi-demonstrasi dan aksi-aksi pemogokan.

Dengan berlanjutnya kejahatan yang dilakukan pendudukan penjajah Israel terhadap rakyat Palestina, maka gerakan Hamas menggunakan metode lain. Karena itu, Brigade al-Qassam, sayap militer Gerakan Hamas, melakukan puluhan aksi dan operasi melawan tentara penjajah Israel dengan menembaki patroli pasukan penjajah Israel dan menikam prajuritnya dengan pisau.

Meletusnya intifadhah

Percikan Intifadhah Batu berkobar setelah warga Palestina pada hari itu mengiringi pemakaman 4 pekerja Palestina dari kota Jabalia di Gaza utara, yang meninggal akibat kecelakaan mobil “yang disengaja” ditabrak oleh sebuah trailer Israel saat mereka pulang dari pekerjaan di wilayah Palestina yang diduduki penjajah Israel sejak tahun 1948.

Aksi-aksi demonstrasi terjadi di seluruh kota Jabalia dan kamp pengungsi di kota tersebut, yang diselingi dengan aksi ribuan pemuda yang melempari pasukan penjajah Israel dengan batu, botol-botol kosong dan molotov. Aksi-aksi ini menyebar dan meluas ke setiap jalan dan gang di kamp pengungsi, yang dihadapi oleh pasukan penjajah Israel dengan tembakan peluru tajam. Akibatnya, seorang pemuda Palestina bernama Hatem As-Sisi berusia 21 tahun gugur sebagai martir pertama dalam intifadhah ini.

Penjajah Israel meyakini bahwa konfrontasi-konfrontasi ini hanyalah respon selintas terhadap kejahatan penabrakan oleh trailer tersebut. Pada hari berikutnya masalah ini akan tenang kembali. Namun ternyata konfrontasi-konfrontasi tersebut kembali berkobar dan meningkat sampai menyebar ke seluruh kamp pengnungsi di Jalur Gaza dan perkampung Kota Gaza, dan kemudian merembet ke Tepi Barat.

Kosa kata “intifadhah” masuk ke dalam kamus bahasa Arab dan kamus-kamus dalam bahasa lain. Di mana terjemahan kata ini dan peristiwanya menjadi sensasi hebat di media massa, terutama di media Barat meskipun ada upaya penjajah Israel untuk mengaburkannya.

Bersifat kerakyatan

Intifadhah ini memiliki karekter kerakyatan, kesatuan sikap, solidaritas sosial, solidaritas keluarga, kemenyeluruhan konfrontasi, dan perluasan medan konfrontasi langsung dengan penjajah Israel di semua kota dan desa Palestina.

Semua elemen masyarakat dan kelompok umur turut berpartisipasi dalam intifadhah ini. Terlebih senjata perlawanan intifadhah ini dapat diakses oleh semua orang (batu dan ketapel), dan kadang-kadang menggunakan pisau dan molotov, sebelum kemudian berkembang dengan menggunakan senjata.

Dengan terus berlanjutnya demonstrasi dan konfrontasi sehari-hari dengan pasukan penjajah Israel secara terus-menerus tanpa henti, para pemuda intifadhah mulai mendapatkan lebih banyak kepercayaan untuk melanjutkannya, dan menjadikan intifadhah ini sebagai cara hidup mereka dengan menyerukan untuk melakukan konfrontasi dan pemogokan yang terjadi di seluruh Tepi Barat dan Jalur Gaza, sehingga mereka membentuk komite-komite rakyat untuk memimpinnya.

Di sisi lain, otoritas pendudukan penjajah Israel merasa putus asa dan frustrasi dalam menekan kobaran intifadhah, terutama di tengah-tengah pemberitaan media Barat yang melaporkan demonstrasi-demonstrasi tersebut.

Mematahkan tulang

Intifadhah berlangsung hingga berganti-ganti pemerintahan penjajah Zionis yang berhaluan kiri dan kanan, serta pemerintahan yang menggabungkan antara keduanya “pemerintah persatuan” yang dipimpin oleh Yitzhak Shamir dan Yitzhak Rabin, yang saat itu menjadi sebagai menteri militer, dan memutuskan untuk menggunakan kebijakan “mematahkan tulang” rakyat Palestina.

Pasukan pendudukan penjajah Israel menggunakan berbagai cara represif untuk menekan intifadhah dan menghentikannya namun tanpa hasil. Mereka melakukan serangkaian pembantaian terhadap rakyat Palestina, yang paling terkenal adalah pembantaian di area Masjid Al-Aqsha pada 8 Oktober 1990 yang mengakibatkan 21 warga Palestina gugur.

Demikian juga, pembantaian di Masjid Ibrahimi di kota Hebron, pada 20 Februari 1994, yang mengakibatkan 34 warga Palestina meninggal dunia setelah diberondong peluru saat mereka sedang melaksanakan sholat subuh.

Pasukan pendudukan penjajah Israel juga melakukan beberapa pembantaian di Nahalin, kamp pengungsi Nuseirat, kampung Sheikh Ridwan, Sabra dan Daraj di Kota Gaza, dan pembantaian Khanyunis.

Setelah meletus Intifadhah Batu ini, pasukan penjajah Israel segera melakukan penangkapan besar-besaran terhadap ribuan warga Palestina. Mereka membuka sejumlah penjara dan pusat-pusat penahanan untuk menampung para tahanan batu.

Di antara penjara-penjara baru yang dibuka adalah penjara Ansar 2 di barat Kota Gaza, penjara padang pasir Negev (Ansar 3), serta penjara Ofer dan Megiddo di Tepi Barat.

Sebagian besar tahanan dipindahkan ke penahanan administratif (tanpa tuduhan dan proses pengadilan). Jumlah warga Palestina yang ditangkap dan ditahan selama intifadhah ini diperkirakan mencapai 200.000 prang, 42 di antaranya meninggal dunia karena penyiksaan, kelalaian medis dan pembunuhan langsung setelah ditangkap.

Gelombang penangkapan ini tidak mempengaruhi jalannya intifadhah atau jumlah mereka yang berpartisipasi di dalamnya, juga tidak menghalangi rakyat Palestina untuk melanjutkan perlawanan sah mereka terhadap pendudukan penjajah Israel untuk mendapatkan kembali hak-hak mereka dan untuk mendapatkan kebebasan mereka. Rakyat Palestina tetap teguh dan spartan (gagah-berani, tangguh, tak kenal menyerah, yakin dan percaya diri sepenuhnya).

Penjajah Israel juga menggunakan kebijakan “mematahkan tulang”, yang kemudian membuat masyarakat internasional menentangnya setelah tersebar foto-foto tentaranya sedang menyerang secara agresif pemuda-pemuda Palestina dan dengan sengaja mematahkan tangan dan kaki mereka, terutama di Nablus.

Perjanjian Oslo

Ketika otoritas pendudukan penjajah Israel menyadari bahwa penggunaan kekuatan dam kekerasan tidak akan membantu menghentikan intifadhah, mereka menggunakan “solusi damai”. Maka mereka membuka jalur negosiasi langsung dengan PLO, yang menyebabkan perpecahan dalam masyarakat Palestina.

Negosiasi ini menghasilkan penandatanganan perjanjian “Oslo” antara PLO dan pemerintah penjajah Israel pada 13 September 1993, yang menetapkan pembentukan Otoritas Palestina, yang dibentuk setelah 6 bulan kemudian. Perpanjian ini menetapkan pengaruh kekuatan Otoritas Palestina hingga di Jalur Gaza dan kota Jericho, masuknya Pasukan Keamanan Nasional Palestina, pembentukan organ-organ keamanan, keluarnya pasukan pendudukan penjajah Israel dari dalam kota-kota Palestina dan penyebaran mereka di perbatasan, dan mempertahankan kelangsungan permukiman-permukiman Yahudi. Maka dengan demikian, banyak aksi massa yang padam. (was/pip)

  Baca lebih lanjut di 

https://melayu.palinfo.com/13961

 @Copyright  Pusat Informasi Palestina,All right reserved