Oleh : Dr. Masri Sitanggang
Ini adalah pertarungan. Kalau umat Islam kalah, negeri ini menjadi sekuler-komunis. Perlu Panglima yang berani, cerdas dan tangkas.
Fenomena ngototnya fraksi tertentu di DPR RI untuk meneruskan pembahasan RUU HIP – meski masyarakat beserta ormas besar Muhammadiyah dan NU bahkan MUI seluruh Indonesia menolak keras– dan muculnya usul pemerintah tentang RUU BIP, membuktikan satu hal : pertarungan mengenai falsafah negara belum selesai. Masih ada kelompok yang sungguh-sungguh belum rela menerima Dekrit Presiden 1959. Diakuinya keberadaan Piagam Jakarta dalam Dekrit itu, diduga keras menjadi sebab utama penolakan mereka terutama penganut faham sekulerisme dan komunisme.
Padahal, Dekrit 5 Juli 1959 ini diterima secara aklamasi oleh DPR hasil Pemilu 1955 pada 22 Juli 1959. Artinya, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah satu-satunya rumusan falsafah negara yang disahkan oleh satu badan yang langsung dipilih oleh rakyat. Tambahan lagi, tujuh tahun kemudian, 19 Juni 1966, Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong menjustifikasi Dekrit Presiden 5 Juli itu dan pada 5 Juli 1966 dan oleh MPRS ditingkatkan menjadi Ketetapan MPRS no XX/MPRS/1966.
Dengan kekuasaan yang dimiliki, pengusung sekularisme ingin memaksakan kehendak mengganti falsafah negara yang sah berlaku saat ini, yakni rumusan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Penggantinya adalah falsafah yang terinspirasi dari pidato usulan Ir Soekarno pada sidang BPUPK tanggal 1 Juni 1945, yang oleh Endang Saifuddin Anshari (1983) disebut “Konsep Rumusan Pribadi”, rumusan tidak resmi. Di dalam RUU HIP, Konsep Rumusan Pribadi itu dinampakkan dalam wajah materialism yang terang, menyingkirkan Tuhan dalam membangun Indonesia. Kalau pun mau ber-Tuhan, maka Tuhan harus dikurung dalam kebudayaan. Ilmu dan Teknologi lebih utama dari Tuhan.
Tentu ini adalah serangan ekstrem radikal terhadap NKRI. Pertama, mengabaikan falsafah negara yang resmi ditetapkan melalaui Dekrit dan sah masih berlaku. Kedua, bertujuan membalikkan sistem nilai yang sudah mendarahdaging sejak jauh sebelum bangsa ini merdeka ke arah yang bertolak belakang. Ke arah membelakangi nilai-nilai Tuhan.
Indonesia hidup dengan ke-Tuhan-an bukanlah bermula dari terumuskannya Piagam Jakarta. Bukan ! Ke-Tuhan-an sudah menjadi jiwa masyarakat Indonesia berabad sebelum Indonbesia merdeka. Bagi Umat Islam, Ke-Tuhan-an malah menjadi spirit utama untuk mengusir penjajah. Piagam Jakarta hanya mengukuhkan apa yang menjadi sistem nilai yang hidup di tengah masyarakat itu, berupaya menjadikannnya hukum positif.
Ambillah periode yang paling dekat, tahun 1928, tahun di mana para pemuda Indonesia bersumpah bertanah air dan berbangsa serta berbahasa satu. Di situ dinyanyikan lagu dengan syair “ bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia raya”. Disadari betul, bahwasanya jiwa-ruhani perlu dibangun sebagai kekuatan perlawanan menentang penjajah, bukan fisik ansich.
Mimpi para pemuda dulu itu, adalah Indonesia merdeka yang terbangun jiwa dan badannya, ruhani dan fisik-jasmaninya. Membangun jiwa-ruhani lebih utama agar pembangunan fisik-jasmani memiliki arti buat kehidupan. Pembangunan bukan untuk pembangunan, tetapi untuk manusia yang mendiami Indonesia.
Jiwa-ruhani hanya bisa dibangun dengan ajaran Tuhan. Tidak bisa dengan matematika, fisika, kimia atau sebutlah sains dan teknologi. Sains teknologi tanpa Tuhan akan melahirkan manusia tanpa hati, manusia robot, atau paling banter seperti hewan terlatih. Ini mengerikan. Indonesia akan menjadi belantara gedung pencakar langit yang dihuni oleh manusia hewani : Survival of the fittest, kata Charles Darwin. Yang kuat yang bertahan hidup. Memangsa sesamanya tanpa belas kasih. Begitulah hewan, begitulah falsafah orang tak ber-Tuhan.
Merubah kesepakatan dengan kekuasaan, tanpa menghiraukan jeritan komponen bangsa yang menjadi stake holder, pada hakekatnya adalah penindasan. Penindasan penguasa terhadap rakyat dan Itu adalah penjajahan. Sebuah kejahatan kemanusiaan yang sesungguhnya kita tolak sesuai alenia pertama Pembukaan UUD 1945. Lebih menyakitkan dari Penjajahan sebelumnya, karena ini justeru dilakukan oleh bangsa sendiri.
Tetapi memang, begitulah tabiat pertarungan. Setiap orang berupaya keras melumpuhkan lawannya hingga tidak berkutik. Itu sah belaka. Apalagi petarungnya menganut faham bebas nilai alias tidak berke-Tuhan-an. Menghadapi petarung yang begini, adalah satu kebodohan bila berharap mereka akan mengikuti aturan main. Jangan harap ada perasaan tersentuh mendengar jeritan dan suara kecewa serta keluh kesah. Bertarung sampai mampus, tidak ada belas kasih. Mereka adalah manusia tanpa hati di mana ilmu dan teknologi jadi alat pembunuh.
Sebagai pihak yang paling bertanggungjawab memerdekakan Indonesia, yang betanggungjawab melestarikan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, selama ini umat Islam memang terlalu polos. Selalu saja berprasangka baik. Tidak pernah merasa bertarung. Tidak sadar kalau mereka diposisikan sebagai lawan oleh kelompok tertentu. Akibatnya, ketika kena “pukulan” keras, mereka cuma berkeluh kesah, kesal dan kecewa : “Kenapa kami diperlakukan begini ?”.
Dalam konteks RUU HIP – RUU BIP dan adanya upaya menyamakan khilafah dengan komunisme, misalnya, masih ada juga umat Islam yang menilai hal ini disebabkan kelompok tertentu itu dungu, bodoh, tidak faham tentang Pancasila dan khilafah. Inilah pertanda tidak sadar bahwa mereka sedang menghadapi pertarungan. Menganggap lawan bertindak tanpa rencana, tanpa perhitungan dan tujuan.
Kalau umat Islam sadar bahwa mereka sedang bertarung, pastilah bersiap-siap menghadapinya. Siap menerima dan mengelakkan “serangan” dan siap pula melakukan serangan balik. Tidak ada tempat berkeluh kesah dan kecewa di situ. Yang ada, adalah : lawan sampai menang atau menyerah kalah. Kalau mujahid, pilihannya menang atau mati dalam pertarungan. Isy kariman au mut syahidan, hidup mulia atau mati syahid, kata Wakil Ketua MUI Pusat, KH Muhyiddin Junaidi. Itulah orang yang sadar.
Sebagai pemimpin umat, KH Muhyiddin patut dan sudah seharusnya mendeklarasikan itu. Apa yang telah dialami umat Islam selama perumusan falsafah negara baik masa RI maupun masa NKRI, ditambah perlakuan pemerintah terhadap umat Islam atas nama Pancasila selama Indonesia Merdeka, adalah menyakitkan. Tapi umat Islam berlapang dada menerima itu sebagai sebuah kenyataan dalam dinamika hidup berbangsa dan bernegara. Tetapi kalau sampai ada upaya ekstrim dengan kekuasaan, membuang falsafah negara yang telah disepakati dengan jalan susah payah, menggantinya dengan sesuatu yang sudah ditolak, maka itu sudah sampai pada batas tidak tertolerir. Wajib ada Masirah Qubra, Isy kariman au mut syahidan.
Mari kembali melihat jejak sejarah.
Perumusan falsafah negara RI mengikuti proses dialektika. Pada masa sidang BPUPK, golongan sekuler menghendaki negara ini berdasar sekulerisme –di mana Tuhan menjadi urusan pribadi dan tidak dibawa dalam urusan bernegara). ini dapat dipandang sebagai tesa.
Golongan Islamis menghendaki negara ini berdasa Islam –di mana hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak lepas dari nilai-nilai agama). Ini dapat dipandang sebagai anti tesa.
Maka lahirlah Piagam Jakarta sebagai sintesa (Pancasila rumusan resmi I). Sebuah naskah kompromi yang tepat disebut “gentlemen’s agreement” sebagaimana yang diberikan Sukiman : RI tidak berdasar sekuler dan bukan berdasar Islam. Agama diletakkan di tempat terhormat.
Pada masa pencoretan tujuh kata dari Piagam Jakarta untuk ditetapkan pada 18 Agustus 1945 ((Pancasila rumusan resmi II), sulit untuk disebut proses dialektika. Sebab, prosesnya berjalan kurang wajar. Namun perlu diingat, setelah pengakuan Belanda terhadap Indonesia, konstitusi !8 Agustus 1945 ini hanya berlaku di satu negara RIS (Pancasila rumusan resmi III). Selanjutnya, tidak berlaku sama sekali setelah RI bersama negara-negara bagian lainnya membubarkan diri membentuk NKRI berkat Mosi Integral Natsir dan menandai berlakunya UUDS 1950 (Rumusan IV).
Perdebatan di Konstituante, bolehlah. Anggota konstituante kembali terbelah dua. Golongan sekuler mendukung Pancasila, bisa di sebut sebagai tesa.
Tetapi perlu diingat pula, Pancasila yang dimaksud oleh golongan sekuler tidak merujuk pada rumusan tertentu. Tidak soal apakah rumususan pribadi Sukarno 1 Juni 1945, rumusan resmi II, III atau IV. Yang pasti, bukan rumusan Piagam Jakarta. Rumusan Piagam Jakarta mereka tolak keras seolah bukan rumusan Pancasila. Padahal, itulah rumusan resmi I tentang falsafah negara.
Ini dibuktikan oleh pidato tokoh-tokoh PNI di Dewan Konstituante. Ketua Umum PNI, Soewirjo, misalnya, mengatakan : “Saya tidak hendak membicarakan runtutan sila-sila atau susunan kata-katanya. Soal ini bagi PNI tidak merupakan soal yang prinsipil”. Tokoh PNI lainnya, Roeslan Abdoelgani, menyatakan : “Ketuhanan disebut belakangan hendaknya jangan kemudian ditarik kesimpulan seakan-akan dasar ini hendak kita belakangkan. Jauh daripada itu ia sekadar menuruti sistematik penjelasan saja.” Pidato Roeslan Abdoelgani tentu saja merujuk pada rumusan Pribadi Soekarno 1 Juni 1945.
Golongan Islamis menghendaki kembali ke Piagam Jakarta (Pancasila rumusan resmi I). Ini dapat dipandang sebagai anti tesa.
Rasio perimbangan suara antara sekuler (tesa) dan Islamis (anti tesa) adalah 5 : 4 (dalam angka kongkrit, 264 : 204). Di dalam suara golongan sekuler ada 80 suara angota PKI (yang sebenarnya sebagbagai atheis, tulis Endang Saifuddin Anshari, adalah pendukung yang palsu). Maka jika pihak sekuler dikurangi suara komunis, perbandingan menjadi 184 : 204 atau 9 : 10.
Dalam sidang-sidang Konsituante, PKI sangat gigih menolak segala sesuatu yang berbau Islam. Ketuhanan, kata Aidit, adalah berarti kebebasan beragama; yang berti pula kebebsan untuk tidak beragama dan kebebasan untuk mengajak orang untuk tidak beragama.
Maka dari itu Dekrit Presiden 5 Juli 1959, meski atas dasar kekuasaan, dapat dipandang sebagai sintesa. Sebab, dekrit menyatakan kembali ke UUD 1945 dengan menyebut: “bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.” Satu konsideran yang tentu saja sangat tidak disukai PKI. Jadi, Dekrit Prsiden menjadi Pancasila rumusan resmi V, rumusan terakhir: Pancasila 18 Agustus 1945 yang jiwanya adalah Piagam Jakarta.
Tampaknya para pengusung RUU HIP-BPIP mengajak bangsa ini kembali kepada dialektika awal, yakni masa-masa perdebatan di BPUPK. Mereka memperjuangkan sekulerisme sebagai tesa. Maka, agar terlahir sintesa baru, Gerakan Masirah Qubra, melalui Panglimanya, harus dengan gigih memperjuangkan negara ini berdasar Islam. Ini tidak terelakan. Kalau Umat Islam kalah, atau tidak melakukan perlawanan, Indonesia akan menjadi sekuler-komunis. Kalau Umat Islam menang, negara ini berdasarkan Islam. Kalau remis, akan lahir lagi sintesa baru : Piagam Jakarta, setidaknya Falsafah negara Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dapat dipertahankan.
Selanjutnya, mengingat pertarungan (dialektika) ini menyangkut Falsafah NKRI (bukan RI), maka segala yang berkaitan dengan Pancasila –baik (rancangan) produk hukum maupun lembaga, yang diusung oleh pihak lawan tarung harus dipandang sebagai satu kesatuan yang ditolak. Sebab, tidak sesuai dengan Pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Peta jalan menuju sempurnanya penggusuran Pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu dimulai dari terbitnya Keppres no 24 tahun 2016 tentang hari lahirnya Pancasila. Keppres ini telah digunakan sebagai landasan dalam menyusun Naskah Akademik dan RUU HIP, seolah dengan Keppres ini, Pancasila 1 Juni adalah Pancasila yang sah berlaku. Selanjutnya terbit Perpres no 54 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila yang kemudian berganti nama menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, telah menjurus pada penafsir tunggal Pancasila dan telah secara terang-terangan (melalui ketuanya) menyatakan musuh Pancasila adalah agama. Kemudian lahir RUU HIP yang secara fundamental menggusur Pancasila yang sah sebagaimana telah jelaskan di atas. Terakhir, lahir RUU BPIP yang akan memiliki kekuatan hukum untuk menjadi penafsir tunggal Pancasila sesuai kehendak lawan tarung. RUU HIP dan RUU BPIP itu satu paket. Makanya, BPIP tidak berkemomentar terhadap upaya penggantian Pancasila dalam RUU HIP.
Oleh karena itu, sekali lagi, semua yang ada di peta jalan penggusuran Pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu harus ditolak. Ini memerlukan Panglima yang berani tapi juga cerdas dan tangkas yang didukung oleh semua lapisan umat Islam.
Selamat berjuang Panglima, selamat memimpin Masirah qubra..
Penulis adalah Ketua Panitia #Masyumi Reborn