ANTI ISLAM
®Fahrur Rozy, Direktur Arkom PoliticalResearch
Mengapa belakangan ini pemerintah, termasuk aparat serta kelompok loyalisnya, kok terkesan beringas terhadap (ulama/ormas) Islam?
Penulis buku “Pater Beek, CIA, dan Freemasonry”, M. Sembodo dalam tulisannya 2 tahun lalu mencoba menjelaskannya kepada kita.
Menurut Sembodo, hal ini sebetulnya tidak mengejutkan. Mengingat sedari awal Jokowi didukung oleh kalangan Kristen fundamentalis semacam James Riady (bos Lippo Group) maupun kalangan Katolik fundamentalis seperti Sofian Wanandi (bos Gemala Group) serta Jenderal yang pernah berkasus dengan umat Islam semacam Hendropriyono dan Wiranto
Utamanya lagi, Jokowi naik menjadi presiden dengan sokongan partai nasionalis-sekuler PDIP.
Bila kita mundur kebelakang, PDIP adalah partai yang selalu dipayungi oleh tiga kekuatan itu: Kristen dan Katolik fundamentalis, serta Jenderal yang yang berhaluan “keras” terhadap islam.
Kita bisa membacanya dari buku Jusuf Wanandi, pendiri sekaligus peneliti CSIS. Dalam buku memoarnya yang berjudul “Menyibak Tabir Orde Baru.” Tepat di halaman 374, kepada Letjen TNI Agum Gumelar dan Letjen TNI Hendropriyono, Jenderal Benny Moerdani berkata: “Kita harus melindungi Megawati. Jangan sampai mengecewakan dia. Saya tahu orang tua itu (soeharto) ingin menggesernya. Ini tidak adil.”
Kedekatan PDIP, dulu PDI, dengan kalangan fundamentalis Katolik sudah lama. Dalam memoar Jusuf Wanandi [hlm. 327] disebutkan hubungan dekat Jenderal Benny Moerdani dengan keluarga Sukarno. Tertulis di situ: “Benny menikah dengan Hartini pada tahun 1964. Hartini adalah kemenakan kawan dekat Soekarno di Bandoeng Technische Hogeschool (sekarang Institut Teknologi Bandung). Perkawinan ini dilaksanakan di Istana Bogor dengan Bung Karno sebagai wali.”
Dr. George J. Aditjondro dalam tulisannya “CSIS, Pater Beek SJ, Ali Moertopo dan L Benny Moerdani”, mengatakan: “Benny Moerdani adalah orang Katolik yang kebetulan secara pribadi sangat benci kepada Islam.”
Adapun Hendropriyono, yang saat ini menjadi salah satu penasihat Jokowi, oleh beberapa kalangan, juga diidentikkan sebagai jenderal yang tidak ramah terhadap Islam. Mengingat terseretnya Ia dalam kasus pembantaian terhadap 246 umat Islam di Talangsari, Lampung. Subuh, 7 Februari 1989.
PDIP memang kental aroma kader-kader fundamentalis Katolik dan Kristen. Sekjen PDIP Hasto Kristianto misalnya, semasa berkuliah di UGM merupakan kader PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia).
Pimpinan PMKRI yang menonjol antara lain Jusuf Wanandi pendiri CSIS yang menetap di Singapura, dan adiknya Sofian Wanandi, Pengusaha sekaligus Penasihat Wapres Jusuf Kalla.
Di PDIP juga dominan anggota yang berasal dari kalangan Kristen fundamentalis. Mereka merupakan didikan Parkindo (Partai Kristen Indonesia). Parkindo merupakan salah satu partai selain PNI dan Murba yang berfusi membentuk PDI.
Dari faksi ini kader yang menonjol diantaranya ada Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Ada juga ketua DPP PDIP *Maruar Sirait.
Kader faksi Parkindo lain yang belakangan muncul adalah Adian Napitupulu. Seorang Anggota DPR yang dikesankan sebagai “aktor gerilya” -nya PDIP.
Dengan dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan yang notabene bukan berasal dari kalangan islam, Jokowi seperti tersandera dan lambat laun mulai mempraktekkan politik “gebuk” terhadap kelompok Islam yang dianggap kritis terhadap pemerintah.
Politik Jokowi yang terkesan represif ini mengingatkan kita pada gaya politik “lasser evil theory” [teori setan kecil]. Teori yang dipopulerkan oleh Pater Beek, tokoh katolik fundamentalis asal Belanda, yang menurut beberapa sumber ditengarai sebagai Agen CIA.
Teori itu bertumpu pada premis, bahwa berdasar alasan historis dan ideologis, Islam dan umat Islam harus dianggap sebagai ancaman serius.
Turunannya adalah dramatisasi isu terorisme dan persekusi, wacana pembubaran ormas islam, serta kriminalisasi tokoh islam. Ini mengingatkan kita pada kejadian serupa di masa lalu. Seperti Kasus Wayloya, Talangsari, sampai Tanjung Priok di era Orde Baru.
Mengutip wawancara Benny Moerdani di Majalah Tempo edisi 19 Januari 1985, ia mengatakan bahwa Tanjung Priok merupakan asbak. Ini bisa dimaknai bahwa umat Islam diprovokasi untuk marah, kemudian Tanjung Priok dijadikan asbak untuk memadamkan amarah itu.
Kini, sepertinya di era Jokowi-PDIP, asbak itu bukanlah tempat semacam Tanjuk Priok, melainkan umat Islam itu sendiri.
Patut diduga, ulama dan ormas islam Islam tertentu dibidik untuk dijadikan asbak, yakni wadah pelampiasan dan ‘pembuangan’ kegagalan rezim saat ini dalam mensejahterakan rakyat.
Lantas kemudian pertanyaan besarnya adalah: _Akankah kita diam saja membiarkan merajalelanya kedzaliman dan kesewenang-wenangan? Kalau kita tetap diam maka kita akan tetap disepelekan dan dipermainkan. [fr]