Oleh : DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM.
Ditinjau dari penafsiran secara teologikal menunjukkan bahwa pembentuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, terhadap “penyelidikan dan penyidikan” tidak lagi memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden. Persetujuan tertulis dari Presiden hanya diperlukan jika akan dilakukan penahanan terhadap Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.
Lebih lanjut, perlu juga diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang dibuat setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut Mahkamah, persetujuan tertulis pada tahap penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah atau pejabat mana pun tidak memiliki rasionalitas hukum yang cukup, dan akan memperlakukan Warga Negara secara berbeda di hadapan hukum. Oleh karena itu persetujuan tertulis dari Presiden tidak boleh menjadi hambatan bagi proses penyelidikan dan penyidikan Kepala Daerah yang bersangkutan, karena esensi dari persetujuan tertulis Presiden hanyalah agar Presiden sebagai pimpinan dari para Kepala Daerah mengetahui bahwa pimpinan dari suatu daerah akan mengalami proses hukum yang membatasi ruang geraknya, sehingga yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugas pemerintahan dengan baik, dan akan berakibat pada terjadinya kekosongan pimpinan daerah. Berdasarkan hal itu Presiden melalui Menteri Dalam Negeri segera dapat mengambil langkah-langkah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Amar Putusan Mahkamah Konstitusi pada perkara aquo, antara lain menyatakan bahwa Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan “Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik “ tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.
Melalui penalaran logis (konstruksi) terhadap putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan ketentuan Pasal 90 ayat (1) yang menyebutkan “tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan” harus ditafsirkan bahwa persetujuan tertulis dari Presiden hanya diperlukan jika akan dilakukan penahanan terhadap Gubernur dan/atau Wakil Gubernur, sedangkan untuk dilakukannya penyidikan terhadap Gubernur dan/atau Wakil Gubernur – yang belum berupa penahanan-, maka tidak memerlukan adanya persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Presiden.
Lebih jauh, prosedur khusus berupa “izin pemeriksaan” tidak sesuai atau bertentangan dengan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan (constante justitie), asas persamaan di depan hukum (equality before the law), asas independensi kekuasaan Kehakiman dalam arti luas di mana di dalamnya juga tercakup penyelidik, penyidik dan penuntut umum. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengadopsi prinsip-prinsip equality before the law atau persamaan di depan hukum, sebagaimana diatur di dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1). Pasal 27 ayat (1) berbunyi, ”’Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”; Pasal 28D ayat (1) berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”,
Terakhir, nalar hukum (legal ratio) terhadap tindakan penahanan tidaklah menghambat pelaksanaan tugas sehari-hari dari Gubernur/Wakil Gubernur yang merupakan pimpinan administratif tertinggi pemerintahan di daerah, mengingat sang petahana sebentar lagi akan cuti (28 Oktober 2016 s.d. 12 Februari 2017), sehingga jika dilakukan penahanan tidaklah mengganggu roda pemerintahan Pemprov DKI Jakarta. Jadi, apa lagi yang mesti ditunggu?
Penulis adalah :
Doktor Hukum Ketahanan Nasional pertama di Indonesia (UNS-Surakarta), Konsultan Hukum, CEO Lisan Hal & Pengurus Komisi Hukum MUI Pusat.