PEMERINTAH BUTA DAN TULI
by M Rizal Fadillah
Buta tidak bisa melihat dan tuli itu tidak bisa mendengar. Pemerintah dibebani kewajiban untuk bisa melihat keadaan rakyat dan mendengar suara jeritan atau rintihan rakyatnya. Realita rakyat Indonesia saat dalam keadaan kesulitan berat. Bukan hanya menghadapi pandemi Covid 19 tetapi menghadapi dampak dari kebijakan penanganan Covid yang inkonsisten.
PPKM Darurat tidak disambut positif karena tidak jelas agendanya selain ketidakbolehan ini dan itu yang dinilai diskriminatif. Masyarakat tidak bisa usaha, lalu darimana mereka makan ? Rumah ibadah ditutup namun bandara tetap dibuka. Penular asing dibiarkan datang. Kegiatan konstruksi 100 % diperkenankan. Situasi dibuat mencekam akibat kondisi ekonomi rakyat yang ambyar. Pengangguran dipastikan meningkat.
Koran Tempo membuat head line “Saatnya Jokowi Kibarkan Bendera Putih”. Kondisi berat yang dihadapi sudah tidak mampu diatasi. Jokowi memang tidak memiliki kemampuan. Hampir semua masalah ditangani dengan amatiran dan semaunya. Soal covid 19 Jokowi tidak berani Karantina Wilayah, malah ditetapkan PSBB, PSBB transisi, lalu New Normal dan kini PPKM. Netizen mengolok-olok PPKM sebagai Planga Plongo Kagak Mikir. Ada pula Planga Plongo Kelakuan Mukidi. Dan yang paling menusuk ialah Pak Presiden Kapan Mundur.
Mulai banyak tulisan, meme, ataupun karikatur yang pada prinsipnya mendesak Presiden Jokowi agar segera mundur atau mengundurkan diri. Ada yang melalui gugatan hukum seperti dilakukan oleh Eggi Sudjana, Khozinudin, dan teman lainnya, ada pula yang membuat “Seknas Jokowi Sudahlah” seperti Adhi Massardi. KAMI se-Jawa mengusulkan juga agar Jokowi segera mundur.
Ekonom Senior Rizal Ramli mengasihani rakyat dan Jokowi sendiri atas ketidakmampuan dalam mengelola negara, karenanya Presiden mundur adalah yang terbaik. “Beri kesempatan yang lain untuk mengelola negara”, ungkapnya. Jokowi kini sudah menjadi bahan olok-olok. Rontok kewibawaan sejatinya dan yang tersisa hanya puja-puji para buzzernya.
Meskipun demikian hingga kini Jokowi dan Pemerintahannya tetap bergeming. Tidak ada tanda tanda untuk siap mundur, bahkan manuver dan manipulasi pendukungnya adalah agenda perpanjangan jabatan untuk tiga periode. Suatu wacana dan harapan yang digaungkan oleh para ilusionis.
Ketika ekonomi morat marit, hukum diinjak-injak, demokrasi diborgol, kedaulatan negara digadaikan, serta agama yang dipinggirkan, maka itulah saatnya rakyat berteriak. Sayangnya teriakan rakyat memang belum terdengar kompak, masih sporadis, dan sayup-sayup. Pemerintah yang buta dan tuli makin asyik dengan mainan kuda-kudaannya.
Renungan kita adalah mari mendengarkan dan membaca satu bait dari lagu Simon & Garfunkel “The Sound Of Silence”–Suara Keheningan.
Fools, said I
You don’t know, silence like a cancer grows
Hear my words that I might teach you
Take my arms that I might reach you
But my words like silent raindrops feel
And echoed,
In the wells of silence.
Orang-orang bodoh, kataku
Kau tidak tahu, keheningan itu seperti kanker yang tumbuh
Dengarkan kata-kataku dan aku mungkin mengajarimu
Raih tanganku dan aku mungkin akan bisa menggapaimu
Tapi kata-kataku seperti tetesan keheningan yang jatuh
Dan menggema,
Dalam sumur keheningan.
Nah, Pemerintah yang buta dan tuli adalah kanker yang terus tumbuh. Karenanya harus cepat diamputasi.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 7 Juli 2021A