Oleh : Karim Indonesia
Menteri Agama (Menag) mulai salah tingkah. Bertahan salah, mundur dari panggung berarti kalah. Sebelum Menag memegang mic dan memberikan opininya, ia sudah disoraki oleh jutaan Umat Islam. Ketika memberikan opini, seruan turun dari umat muncul dan terus membesar. Menag pun tak tahan berlama-lama, suaranya tertutup oleh seruan “turun” dan “Laa I Laa Ha Illallah” yang mengiringi 5 Ar Rayah Raksasa yang tengah diestafetkan tepat di depan panggung.
ISU POLITISASI
Beberapa hari sebelumnya, beredar isu kentalnya aroma politisasi Umat Islam pada Aksi Bela Palestina 17/12. Bahkan, beredar juga isu bahwa acara tersebut akan dihadiri oleh RI 1. Berbagai analisis muncul dan ajakan kepada Umat Islam untuk tidak menghadiri acara tersebut mewarnai media sosial.
Mungkin saja isu politisasi itu benar adanya. Apalagi melihat sikap rezim terhadap 17/12 begitu kontras dengan sikap rezim terhadap 212. Berhadapan dengan 212, rezim terlihat gerah, bahkan ada nada seolah sinis dari salah satu petinggi MUI dan anjuran tidak ikut dari salah satu kepala daerah. Berbeda dengan 17/12 yang begitu ‘dimanja’ dan menggoda keteguhan Menag untuk hadir setelah sebelumnya beropini terkait layak atau tidaknya seorang menteri mengikuti aksi unjuk rasa.
MAKAR ALLAH DAN POLITISASI YANG GAGAL
Mereka, rezim diktator, tidak tahu atau bahkan tidak menyangka, Allah adalah sebaik-baik pembuat makar. Makar apapun yang mereka persiapkan, akan berbalik ‘menghantam’ mereka sendiri. Panggung yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk mengarahkan umat, ternyata malah mengalahkan si pejabat. Kalaupun isu politisasi itu benar adanya, maka 17/12 membuktikan tujuan itu GAGAL.
Wahai Penguasa, Umat Itu Tidak Lupa, dan Allah Itu Ada. Justru kalianlah yang telah melupakan Allah dan melupakan umat. Kalian persekusi Ajaran Islam, Kalian kriminalisasi Bendera Tauhid, Kalian bubarkan Ormas Islam, dan kalian tindas umat dengan berbagai kenaikan harga. Lalu kalian berharap dengan bermodal panggung tinggi dan pengeras suara bisa mendapatkan simpati umat?
Rupa-rupanya tahta dan harta itu telah menumpulkan analisis penguasa terhadap umat. Sementara umat makin terasah dan cerdas, tidak mau lagi ditindas, setidaknya kalau masih ditindas dalam kehidupan, mereka tidak sudi ditindas dalam kemerdekaan berpemikiran dan berpendapat.
Bendera yang selama ini dikriminalisasi, berkibar gagah tepat di hadapan para penguasa, di tengah-tengah pelukan umat. Menyatakan sikap, KAMI ADA, KAMI BERSAMA UMAT, DAN KAMI TIDAK AKAN PERNAH LUPA.
Ar Rayah Raksasa Berkibar Di Sayap Kanan Dan Sayap Kiri Panggung. Al Liwa Raksasa Mengokohkan Sikap, Menantang Kekuasaan Rezim Diktator, Berkibar Di Hadapan Panggung. Ini Kami, Umat Islam, Pewaris Ajaran Khilafah, Pewaris Panji Panji Rasulullah.
AR RAYAH YANG DIRINDUKAN, SANG MENTERI YANG DIKALAHKAN
Tepat ketika tuntutan kepada Menag untuk turun makin kuat, sebagian umat pun menyeru kepada Pengibar Ar Rayah Raksasa di Sayap Kanan Panggung untuk mengibarkan Ar Rayah Raksasa setinggi-tingginya. Mungkin umat berpikir, teriakan tidak cukup untuk membuat Menag sadar bahwa keberadaannya sudah tidak diinginkan. Mesti ada sebuah simbol perlawanan yang kuat, dan dialah Ar Rayah Raksasa yang tengah terbentang di Sayap Kanan Panggung.
Dengan teriakan Allahu Akbar, Ar Rayah Raksasa pun diestafetkan, diiringi teriakan “Laa I Laa Ha Illallah” berkali kali. Umat yang awalnya duduk, bangkit berdiri menyambut Ar Rayah Raksasa Yang Dirindukan. Takbir dan Takbir Menggema, Gemuruh Kemenangan Umat Menenggelamkan Suara Sang Menteri Yang Sudah ‘Mati Opini’. Sang Menteri Pun Undur Diri.
PERKENALKAN, KAMI UMAT ISLAM, INI AL LIWA BENDERA KAMI, INI AR RAYAH PANJI KAMI. BERMIMPI AKAN MENGENDALIKAN KAMI? ANDA MESTI BERPIKIR BERKALI-KALI
18/12/2017