Oleh : Fahmi M.S Kartari
(Sutradara Film Dokumenter & Pemerhati Sosial Politik)
Ternyata memang betul, tidak ada kejenuhan politik selama tiga bulan bergulirnya tahun 2018 yang diperkirakan tahun panas politik di dalam negeri. “Jual beli” tekanan dari kubu-kubu yang berlawanan bukan hanya dalam tensi yang kian meninggi tapi juga dalam “akselerasi pukulan” yang memaksa publik penyimak untuk riuh dalam pendapat dan reaksi.
Kubu yang mengusung kembali jargon dua periode baru saja membuka bocoran strategi kamuflase yang menggunakan label 212, GNPF dan BEM (emak-emak militan) dalam arti yang dipelesetkan. Kubu lawannya yang kadung antipati, menganggap pilihan strategi tersebut sebagai imitasi yang memalukan, sebab di masa lalu kubu ini kelewat alergi oleh label-label tersebut.
Kubu lawan dimaksud yang tidak menghendaki Presiden Joko Widodo melanjutkan dua periode, juga mendapat amunisi dalam arena strategi yang sama untuk membalasnya seperti saat sekelompok aktivis menghimpun cukup besar massa untuk mencanangkan keinginan mengganti presiden secara konstitusional melalui mekanisme pilpres tahun 2019.
Akibat aksi lawannya, tekanan di kubu pengusung dua periode jelas terasa, buktinya sebatas keinginan yang wajar sebagai warga negara saja, dianggap ilegal dan melanggar hukum. Sikap tanpa logika hukum semacam itu dianggap sebagai bukti kepanikan dan paranoid terhadap kekalahan, demikian cemoohan massal dalam menanggapinya dengan segala bentuknya.
Belum juga tuntas menangani keinginan pergantian presiden secara sah, informasi yang beredar diwaktu yang berdekatan sudah kian menambah tekanan tanpa bermaksud sporadis yaitu mendaftarnya mantan Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo ke partai Gerindra yang bersedia diusung sebagai Presiden RI dan arahan paling ditunggu-tunggu oleh Umat Islam dari Habib Rizieq Shihab yang berada di Mekah, Arab Saudi.
Poin menarik dari sisi Gatot Nurmantyo yang mulai dibayangkan sebagai alternatif calon presiden, masih ada waktu untuk menampung lebih banyak opini publik dan analisis politik hingga nanti menentukan kepastiannya. Sedangkan arahan Habib Rizieq Shihab tentang koalisi partai Gerindra, PAN, PKS, PBB dan kemungkinan partai lainnya yang berhaluan sama, adalah gagasan yang besar dan bernilai strategis, maka harus secepatnya diperhitungkan untuk proses kesepakatan koalisi sebelum menentukan kandidat presiden dan wakilnya.
Publik tidak pernah lupa bahwa Habib Rizieq adalah faktor penting dalam kemenangan Anies-Sandi di pilgub DKI Jakarta. Masyarakat yang banyak mendukung Anies-Sandi, sesaat setelah hasil perhitungan cepat, berpendapat penuh keyakinan bahwa mengikuti Ulama yang lurus dalam memilih pemimpin yang baik dan tepat, terbukti membawa kemenangan.
Di sini sebetulnya masalah penggunaan label-label kamuflase imitasi akan tersulitkan sendiri ketika nantinya arahan Habib Rizieq disambut baik oleh partai-partai yang didukung Umat Islam atas dasar tidak memihak pada kubu yang pernah mendukung disahkannya Perppu No.2 Tahun 2017 yang merugikan ormas dan Umat Islam.
Memori 212 dalam sejarah yang nyata dan kemenangan pilgub DKI Jakarta pada 2017, hampir pasti menjadi “titik kumpul” massa yang lebih besar lagi atas akumulasi kekecewaan terhadap kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang dianggap gagal dengan beberapa kebijakanya.
Dalam ukuran-ukuran massa, pendukung Partai Gerindra masih loyal ditambah dengan massa pendukung Prabowo Subianto non partai yang energinya masih sama dengan pilpres 2014. Sedangkan PAN dan PKS, pendukung setianya relatif besar pada kalangan muda dan peran tokoh-tokoh seniornya yang berpengaruh.
PBB sebagai nama lama dengan energi baru, besar kemungkinan mendapat dukungan “balas jasa” setidaknya secara moril dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atas peran Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra sebagai kuasa hukum yang memenangkannya di pengadilan dalam kasus pembubaran sepihak oleh pemerintah. Dukungan moril itu juga menguat pada rasa persaudaran walaupun HTI tetap pada pendiriannya dalam memandang sistem demokrasi.
Masa depan strategis koalisi partai arahan Imam Besar Front Pembela Islam tersebut sudah hampir pasti mendapat jaminan dukungan massa dari alumni 212 dan pendukungnya yang tidak goyah sedikitpun oleh upaya diskredit dan pembunuhan karakter dari lawan politiknya. Terbukti, komunikasi massa khas Habib Rizieq mudah diterima dan berhasil disetujui dalam waktu cepat.
Betapa kuatnya ketergangguan lawan-lawan politiknya dalam menerima isu ini dan pastinya kegagalan menahan dan memproses kasus hukum Habib Rizieq akan semakin disesali karena pengaruhnya terhadap massa ternyata masih ada dan besar! Bisa jadi dengan arahan strategis dari Mekah yang mudah ditafsirkan, akan lebih banyak yang menyetujui agar Habib Rizieq tetap berada jauh dengan komando yang efektif seperti itu.
Bukan berarti juga koalisi arahan Habib Rizieq ini dibiarkan leluasa, kubu pengusung dua periode akan terfokus pada poin ini daripada poin Gatot Nurmatyo. Jelas akan memaksa manuver politik bernada gelisah yang siap direspons dengan adu kecerdikan dari “titik kumpul” massa yang kian merapat dan membesar.
Bagi sejumlah partai yang diarahkan oleh Habib Rizieq, mereka harus membawa catatan pengingat pesan koalisi itu sendiri, perkembangan reaksi dan pendapat massa yang menentukan di pilpres 2019. Semua catatan itu harus sering-sering dibaca karena tentu setelah adanya isu politik yang kuat semacam ini, akan ada bisikan-bisikan politis yang membujuk untuk menolak koalisi tersebut atau sebaliknya meminta untuk diajak dalam koalisi. Dalam hal apapun, jangan abaikan catatan pendapat publik yang cerdas yang lembar-lembarnya terus bertambah.
(26 Maret 2018)