(Narasi Untuk Para Patriot Pemenangan)
*Tulisan pertama
Sigit Jatmiko
1. Membaca Pilkada DKI putaran kedua seperti membaca kembali sirah Al Ahzab. Kekuatan idealisme melawan kekuatan materialisme yang terjadi pada tahun ke 5 Hijriah itu, seakan terulang lagi di tahun 2017. Dulu, medan juangnya adalah barak-barak Khandaq. Sekarang medan juangnya adalah ibukota.
2. Barisan musuh pernah beraliansi di masa Rasul. Kekuatan wilayah Selatan terdiri dari Quraisy, Kinanah, Tihamah dan Bani Sulaim. Kekuatan Timur adalah kabilah-kabilah Ghathafan yang terdiri dari Bani Farazah, Bani Murrah dan Bani Asad. Bergabung dengan kekuatan Barat di sekitar Madinah dari orang-orang Yahudi.
3. Saat ini di DKI, lawan juga beraliansi. Kekuatan dana tak terbatas dari para pengembang, bergabung dengan kekuatan media. Didukung oleh pemerintah yang seakan tidak netral dan berpihak. Aparat yang diharapkan netral, juga tidak bertaji menyelesaikan pelanggaran. Eksodus kubu lawan hasil instruksi partai pengusung juga akan membanjiri ibu kota.
4. Manusia normal yang menghadapi kekuatan aliansi ini pasti akan gentar. Sahabat yang ditarbiyah Rasul juga menunjukkan kegentaran mereka. “Ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, ketika penglihatanmu terpana dan hatimu menyesak sampai kerongkongan dan kamu berprasangka yang bukan-bukan kepada ALLAH (Al Ahzab: 10)”.
5. Sama seperti kegentaran sebagian kader di Ibukota. Sampai ada yang mengatakan, “Saya aja sudah jor-joran dua kali putaran tapi tidak bisa menang juga, apalagi di DKI”. Ada yang juga sinis, “Mana mungkin kita hanya bermodalkan kekuatan doa mau melawan kekuatan uang?”
6. Kondisi internal yang minim peluru juga merupakan pengulangan kondisi Ahzab. Sahabat Anas menceritakan suasana dingin yang menerpa Madinah, kondisi paceklik yang melanda, sehingga tidak ada dana untuk mengupah orang menggali parit. Para sahabat yang turun menggali, juga dalam kondisi lapar dan letih. Semua serba terbatas, melawan kekuatan yang tanpa batas.
7. Pasukan aliansi yang berjumlah 10000 orang, melawan umat yang hanya berjumlah 3000 orang. Kekuatan materi, melawan kekuatan ideologi. Kekuatan dana, melawan kekuatan do’a.
8. Dalam logika manusia normal pasti menyimpulkan Rasul akan hancur. Umat Islam di Madinah akan habis. Tidak akan mungkin memenangkan perang yang kalah jumlah dan persiapan. Tapi sejarah kemudian mencatat kemenangan idealisme melawan pragmatisme. Kemenangan Rasul dan para sahabatnya melawan kekuatan aliansi semenanjung Arab.
9. Di DKI saat ini, kita juga berada di persimpangan sejarah yang sama. Kita punya kesempatan mengulangi kembali kemenangan seperti di perang Ahzab. Situasi dan kondisinya sama. Pembedanya hanyalah kondisi para patriotnya. Apakah sama kondisi para patriot yang memenangkan Ahzab sama dengan kondisi patriot yang akan memenangkan Pilkada DKI?
10. Patriot Ahzab saat itu memulai tahapan kemenangan sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat Al Ahzab: 22, “Dan tatkala orang-orang mukmin melihat aliansi itu, mereka berkata, “Inilah yang dijanjikan ALLAH dan Rasul-NYA kepada kita”. Benarlah ALLAH dan Rasul-NYA. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.
11. Melihat Pilkada putaran kedua saat ini justru seharusnya memberikan kabar gembira, bahwa dakwah kita sudah On the track. Inilah hakikat yang akan kita hadapi sebagai seorang da’i. Bukankah ulama dakwah sering mengingatkan bahwa jalan dakwah akan dipenuhi duri?
12. Sebagaimana patriot Ahzab yang justru makin:
● terlecut di tengah keterbatasan,
● bersemangat di tengah kelaparan,
● militan di tengah himpitan,
● beriman di tengah tantangan,
seperti itu pula seharusnya para patriot pevmenangan di DKI. Saatnya kita mengulangi sejarah Al Ahzab di bumi ibukota.