Beranda Nasional
NasionalNewsPolitik
MUI:
*KALAU REZIM BERSIH JUJUR TAK PERLU TAKUT MASJID
pengurus MUI Pusat, Anton Tabah Digdoyo
JAKARTA (Lumennews.id) – Pengurus MUI Pusat yang juga Dewan Pakar ICMI, Anton Tabah Digdoyo, memandang keliru jika Kepala StafPresiden Moeldoko menuduh ceramah Egi Sujana di salah satu masjid di Jakarta yang membahas kemiskinan rakyat Indonesia di era ini, sebagai berpolitik di dalam masjid.
Bahkan, menurutnya, pemerintah melalui Menteri Agama juga melarang ceramah politik di masjid-masjid menjelang Pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019.
“Jika benar seperti itu, pak Moeldoko telah keliru memaknai berpolitik dalam masjid. Bahas kemiskinan negara maupun rakyat di masjid itu boleh saja asal didukung fakta dan data. Itu bukan berpolitik, ya memang harus begitu,” ungkap mantan Jenderal Polisi ini.
Anton juga mengaku heran kenapa takut dengan masjid. Menurutnya, jika rezim baik, bersih dan jujur, tak perlu takut masjid-masjid. “Takut dengan masjid-masjid justru menunjukkan rezim tersebut tidak baik, tidak bersih dan tidak jujur,” ungkapnya.
Ia juga mempertanyakan larangan ceramah politik di masjid-masjid. Apa dasar dan maksudnya. Serta berpolitik di masjid itu seperti apa batasan dan definisinya. Jika hal itu dikaitkan dengan Pilkada, kata dia, maka Pemilu itu pada hakekatnya adalah memilih pemimpin dari tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi sampai Presiden, juga anggota-anggota legislates perancang UU.
Menurutnya, di agama Islam semua telah diatur di dalam kitab suci Al-Quran dan Sunah, karena risalah yang dibawa Nabi terakhir ini sangat komplit dan detail. Jangankan untuk memilih pemimpin. Memilih teman karib saja diatur dalam Al-Quran, yaitu harus seiman (QS.3/118). Milih pasutri diatur harus seiman (QS.2/221)
“Apalagi memilih pemimpin, di dalam Islam juga wajib seiman. Lebih dari 20 ayat dalam Al-Quran yang berkaitan dengan memilih pemimpin seiman ini, antara lain di QS.4/138 sampai dengan 147, QS.5/51. 57.58, dan lain-lain. Jadi keliru jika pemerintah melarang ceramah politik di masjid-masjid masalah memilih pemimpin. Memilih pemimpin harus seiman itu ibadah, bukan muamalat,” papar mantan Jenderal Polisi ini.
Ditegaskannya, memilih teman karib, memilih calon pasutri, memilih pemimpin wajib seiman, bukan se-Islam, karena mengaku Islam belum tentu telah berIman. Sesuai Al-Quran Surat 49 ayat 14.
Fakta dari firman Allah SWT tersebut, lanjut Anton, sangat nyata. Ada mengaku Islam tapi tidak percaya akhirat. Ada mengaku Islam tetapi membela penista Al-Quran. Ada mengaku Islam tapi benci dengar adzan. Ada mengaku Islam tetapi memilih istri atau suami yang tidak seiman. Ada mengaku Islam tapi memilih pemimpin yang tidak seiman. Bahkan mengaku islam tetapi sangat membenci Islam.
Ia mengingatkan jika melaksanakan keyakinan iman dan akidah agamanya itu bukan intoleransi, bukan SARA, buka tidak Bhineka, bukan radikal, apalagi makar. Ini semua dijamin oleh Pancasila dan UUD 1945 Pasal 28 dan 29, yang jelas dan tegas prakteknya telah berjalan sejak merdeka dengan rukun damai dan harmonis.
Hal tersebut diakui dunia, seperti pimpinan Vatikan dan Eropa ketika studi banding ke Indonesia, mereka bilang Indonesia negara muslim terbesar di dunia yang paling toleran di dunia (Kompas.26/10/2013).
Simposium Katholik Jakarta pada 20 Agustus 2016. Tokoh-tokoh Kristen seperti Magnis. Kwik Kian Gie menyatakan orang Islam memilih pemimpin seiman itu tidak bisa dituduh intoleransi, SARA, tidak Bhineka, apalagi radikal, karena Al-Quran memerintahkan begitu.
“Mungkin agama lain bisa dituduh intoleransi karena kitab sucinya tidak mengatur hal itu?, tapi kalau Islam jelas kitabnya mengatur hal itu dan itulah Pancasila, hal itu dikatakan Kwik Kian Gie dengan tegas. Karena itu maksud pemerintah melarang ceramah politik di masjid itu apa?,” tanya Anton Digdoyo (Red)
Berita Populer
Sampe jam 14.15 wib dibaca 860.000 nitizen

21 April 2018