Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
“Menurut keyakinan saya sebagai pemeluk agama Islam, agama bukanlah isi mengisi dengan Pancasila, melainkan lebih tegas lagi: “Agama akan mengisi Pancasila.” Bertambah saya tha’at menjalankan perintah agama saya, menghentikan larangannya, bertambah suburlah ideologi negara saya.” (Hamka)
Di Majalah Panji Masyarakat edisi No 216, (1 Februari 1977), Buya Hamka menulis artikel berjudul “Ketahanan Ideologi Mutlak Ditingkatkan” dalam rubrik tetap “Dari Hati Ke Hati”. Dalam tulisannya itu Buya Hamka memberikan komentar terhadap pernyataan Kas Koptamtib, Laksamana Sudomo, bahwa Ideologi Negara Pancasila perlu ditingkatkan.
Menurut Buya Hamka, diantara pernyataan Sudomo yang menarik adalah pengakuannya bahwa: “Dasar Ketuhanan Yang maha Esa berarti bahwa Pancasila memberikan akomodasi untuk agama.”
Terhadap pernyataan tersebut, Buya Hamka menjelaskan: “Kita bersyukur karena dari pihak pemerintah sudah ada yang berfikir maju selangkah, yaitu mengatakan bahwa Pancasila dengan agama isi mengisi. Kalau selama ini ada yang mengatakan bahwa Pancasila memberikan jaminan dan perlindungan kepada agama, sekarang sudah ada yang maju selangkah dengan mengatakan bahwa Pancasila dengan agama isi mengisi. Dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa maka Pancasila memberikan akomodasi kepada agama.”
Meskipun menyambut baik pernyataan Sudomo tersebut, tetapi Buya Hamka juga menegaskan, bahwa bagi orang muslim, sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tiang Agung dari Pancasila, Urat Tunggang dari Pancasila. “Kalau sila pertama ini runtuh, gugur hancurlah keempat sila yang lain,” tulis Buya Hamka.
Lebih jauh, Buya Hamka – yang ketika itu menjabat sebagai Ketua Umum MUI — Ketuhanan Yang Maha Esa adalah jaminan yang akan membuat Pancasila itu berurat sampai ke bumi berpucuk sampai ke langit dalam alam pikiran bangsa Indonesia.
“Saya teringat apa yang pernah diungkapkan oleh DN Aidit ketika komunis mulai “mendapat angin” sebelum tahun 1964. Dia mengakui bahwa Pancasila adalah alat pemersatu Indonesia. Dan apabila bangsa Indonesia telah dapat dipersatukan, dengan sendirinya Pancasila tidak diperlukan lagi,” kata Buya Hamka.
Buya Hamka pun mengingatkan jangan sampai sila Ketuhanan Yang Maha Esa dianggap satu bagian Pancasila yang memiliki kedudukan sama dengan sila-sila lainnya. Jika begitu, maka Pancasila akan goyah. Hamka menjelaskan bahwa manusia memiliki fitrah untuk selalu “bertuhan” kepada yang dianggapnya Maha Kuasa. Bagi orang komunis, Yang Maha Kuasa ialah Partai. Siapa saja yang berkuasa maka dialah Yang Maha Kuasa.
Menurut Buya Hamka, yang dimaksud Tuhan Yang Maha Esa adalah Allah SWT. Sebab, hal itu sudah dijelaskan dalam Pembukaan UUD 1945, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa …”. Bangsa Indonesia sejak awal sudah memilih untuk percaya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena itulah, dalam sumpah Sapta Marga, dalam sumpah para pejabat senantiasa disyaratkan untuk orang yang bertaqwa.
“Tidak ada ketaqwaan dalam alam ini kepada berhala atau kepada pemimpin atau kepada thaaghuut. Ketaqwaan hanya kepada Allah sahaja,” tegas Hamka.
Selanjutnya, Hamka menjelaskan, bahwa dalam Garis Gesar Haluan Negara (GBHN), juga dijelaskan bahwa kita sedang menuju kepada suatu negara yang adil dan makmur, yang diridhai oleh Tuhan.
“Oleh sebab itu, meskipun negara Republik Indonesia itu sendiri tidak beragama – karena suatu negara tidak perlu beragama, namun rakyatnya, warga negaranya, penduduknya laki-laki dan perempuan, mestilah beragama. Beragama untuk menjamin teguhnya urat Pancasila itu dalam jiwa, dalam masyarakat, dan dalam negara. Urat Pancasila ialah Ketuhanan Yang Maha Esa,” demikian tulis Hamka.
Lalu, ulama terkenal yang juga Pahlawan Nasional ini menegaskan sikapnya sebagai muslim:
“Menurut keyakinan saya sebagai pemeluk agama Islam, agama bukanlah isi mengisi dengan Pancasila, melainkan lebih tegas lagi: “Agama akan mengisi Pancasila.” Bertambah saya tha’at menjalankan perintah agama saya, menghentikan larangannya, bertambah suburlah ideologi negara saya.”
Demikianlah cara pandang seorang Muslim terhadap Pancasila sebagaimana dirumuskan oleh Buya Hamka. Dan ini juga yang ditegaskan oleh para alim ulama NU dalam Munas di Situbondo tahun 1983, bahwa Pancasila bukanlah agama dan tidak dapat menggantikan kedudukan agama.
Dalam soal ini Buya Hamka pun tegas bersikap, bahwa bagi seorang muslim, Pancasila bukan saling isi mengisi dengan agama, tetapi agamalah yang mengisi Pancasila. Ini juga yang ditegaskan oleh Mr. Kasman Singodimedjo, tokoh yang ikut lobi-lobi perubahan UUD 1945, pada 18 Agustus 1945.
Dalam bukunya, Renungan dari Tahanan, Kasman Singodimedjo menyatakan, bahwa umat Islam tetap punya anggapan bahwa Islam itu adalah lebih sempurna dari Pancasila. “Hal itu tentunya tidak akan, dan tidak seharusnya dianggap salah oleh siapa pun,” tegasnya.
Bahkan, menurutnya, umat Islam keliru jika menganggap Pancasila lebih tinggi dari Islam. Sebab, Islam itu didekritkan langsung oleh Allah sebagai satu-satunya agama yang diridhai-Nya. (QS 3:19). Bahwa ternyata Pancasila dan bukan Islam yang dijadikan sebagai dasar negara, Kasman mengakui, hal itu sebagai ujian dari Allah, dan agar umat Islam berusaha mengubah dirinya sendiri, agar menuju kondisi yang lebih baik.
“Bahwa Islam mempunyai kelebihan dari Pancasila, maka hal itu adalah baik, pun baik sekali untuk/bagi Pancasila itu sendiri dan pasti tidak dilarang oleh Pancasila, bahkan menguntungkan Pancasila, karena Pancasila akan dapat diperkuat dan diperkaya oleh Islam,” demikian penegasan Kasman Singodimedjo. (Depok, 19 Juni 2020).