Oleh: M Rizal Fadillah*
Adalah Presiden Jokowi sendiri yang menyatakan bahwa dirinya sering dihujat dengan berbagai sebutan di antaranya Jokowi itu bodoh, tolol dan planga-plongo. Lucunya ungkapannya itu masuk dalam konten pidato kenegaraan 16 Agustus 2023. Jadilah ini sebagai pidato kenegaraan yang bodoh, tolol dan planga-plongo itu. Nampaknya tidak lebih bermutu dibandingkan pidato bapak Lurah manapun di Indonesia. Tapi dimaklum bahwa memang Presiden bukan Lurah.
Kita buang sementara predikat-predikat yang dikeluhkan Pak Jokowi di atas. Yang menjadi persoalan adalah pidato kenegaraan kemarin tidak menyentuh apa yang menjadi perhatian publik mengenai harapan perbaikan pengelolaan negara ke depan baik soal hutang luar negeri, KKN, ketergantungan pada China, pemulihan kedaulatan rakyat, kegagalan proyek infrastruktur, penguatan TNI atau lainnya.
Terjadi kondisi paradoksal di negeri ini di satu sisi pidato kenegaraan 16 Agustus 2O23 tersebut adalah gambaran dari ketidakpantasan dan ketidakmampuan Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia, namun di sisi lain fenomena politik yang ada menunjukkan bahwa partai politik dalam menata kehidupan politik ke depan masih begitu menghamba kepada Presiden Jokowi.
Akibatnya seperti semua tergantung sikap dan pemihakan kepada pak Lurah. Partai Gerindra menjadi “juara” dalam penghambaan. Golkar, PAN, PKB ikut serta. Nasdem termasuk “planga-plongo” Inkonsisten dalam perlawanan. PDIP bimbang dan ragu. Dikhianati tapi masih mencoba mengikat. PPP loncat-loncat. Hanya PKS dan Demokrat yang relatif mandiri. Tentu dimusuhi.
17 Agustus bukan hari kemerdekaan tetapi di bawah pemerintahan Jokowi menjadi hari penjajahan.
Pakaian adat Amangkurat I yang dikenakan Jokowi menjadi simbol kezaliman, kediktatoran dan pengkhianatan. Amangkurat I adalah kolaborator VOC, pembantai 5000 hingga 6000 ulama dan keluarganya.
Diwarnai joget-joget dan lagu “rungkad” kelak menjadi pertanda rakyat yang bahagia ketika Jokowi sang Amangkurat I “rungkad” runtuh dari kekuasaannya.
Jokowi yang tidak akan cawe-cawe dan Jokowi yang akan cawe-cawe itu ternyata orangnya sama. Sama-sama botol.
Kemerdekaan negara harus dimulai dengan memerdekakan negara dari Jokowi. Pilpres yang sehat adalah Pilpres yang merdeka, bukan terjajah atau tersandera. Untuk itu syarat
mutlak bagi kesehatan Pilpres adalah Jokowi tidak ada. Alasan hukum dan politik sudah cukup kuat untuk secara konstitusional memakzulkan Presiden Jokowi.
Pilpres tinggal 6 bulan lagi, beberapa pengamat menyatakan pesimis bahwa Jokowi itu dapat berhenti atau dihentikan. Pengamat itu lupa bahwa dahulu Soekarno itu lumpuh dan jatuh oleh satu hari saja peristiwa 30 September. Ulah dan blunder PKI. Kekuatan Soekarno terkikis habis. Soeharto jaya dan tetap digdaya menjadi Presiden kembali pada 11 Maret 1998 akan tetapi tanggal 21 Mei 1998 Soeharto jatuh. Hanya dalam hitungan dua bulan sepuluh hari saja.
Waktu untuk perubahan adalah suatu keniscayaan. Terlalu banyak dosa politik Jokowi. Satu atau dua kasus dapat menjadi kejutan bagi momentum perubahan itu. Berhenti Jokowi tidak menunda Pemilu termasuk Pilpres. Yang pasti adalah Pemilu khususnya Pilpres akan terjamin lebih sehat dan demokratis tanpa cawe-cawe dan ketergantungan pada Jokowi.
Indonesia tidak akan menjadi negara demokrasi botol planga-plongo jika Jokowi dimakzulkan sebagai Presiden. Konstitusi mengatur kebaikan ketatanegaraan ke depan. Musibah bangsa atas hadirnya Jokowi harus segera diakhiri dan dilewati–Rungkad “ambyar” :
Pancen//Kuakui kusalah
Terlalu percoyo mergo//Mung nyawang rupo
Saiki aku wes sadar// Terlalu goblok mencintaimu
Rungkad//Entek-Entekan
Memang//Kuakui kusalah.
Terlalu percaya karena//hanya melihat wajah.
Sekarang aku sudah sadar//Terlalu goblok mencintaimu.
Ambyar//Habis-habisan.
Ariani Putri memang buta, tetapi hatinya terbuka menyanyikan lagu “rungkad” spesial untuk kita semua.
“Terlalu percaya karena hanya melihat wajah. Sekarang aku sadar, terlalu goblok mencintaimu”.
Goblok mempercayai dan mendukungmu.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 21 Agustus 2023