By: Ardiyansyah Nugraha
RAND Corporation adalah Pusat Penelitian dan Kajian Strategis tentang Islam di Timur Tengah atas biaya Smith Richardson Foundation, berpusat di Santa Monica-California dan Arington-Virginia, Amerika Serikat (AS). Sebelumnya RAND Corp adalah perusahaan bidang kedirgantaraan dan persenjataan Douglas Aircraft Company di Santa Monica-California, namun entah kenapa beralih menjadi think tank (gudang pemikir) dimana dana operasionalnya berasal dari proyek-proyek penelitian pesanan militer.
Sebagai lembaga think-tank (gudang pemikir) AS yang memberikan jasa informasi kepada Pentagon, RAND menciptakan suatu agenda dan strategi AS di masa depan mengenai perang melawan terorisme, isi dokumen RAND menyimpulkan bahwa AS harus menghentikan “perang melawan teror”-nya dan mengubah strateginya dalam melawan terorisme, dari strategi yang mengandalkan kekuatan militer menjadi strategi yang lebih mengandalkan kebijakan dan kerja-kerja “intelijen”.
Lebih jauh dalam hasil studinya RAND Corporation mengatakan :
“AS SUDAH SEHARUSNYA TIDAK LAGI MENGGUNAKAN FRASA ‘PERANG MELAWAN TERORISME’. PARA PELAKU TERORISME HARUS DILIHAT DAN DISEBUT SEBAGAI PELAKU TINDAK KRIMINAL, DAN BUKAN DISEBUT SEBAGAI PASUKAN PERANG SUCI. PERSOALAN INI BUKAN SEKEDAR MASALAH BAHASA. ISTILAH YANG KITA GUNAKAN UNTUK MENJELASKAN STRATEGI KITA DALAM MELAWAN TERORISME SANGATLAH PENTING, KARENA HAL INI AKAN MEMPENGARUHI KEKUATAN APA YANG AKAN DIGUNAKAN.“
Inti dari garis besar dokumen RAND berisi kebijakan AS dan sekutu di Dunia Islam. “Inti tujuannya adalah mempeta-kekuatan (mapping), sekaligus memecah-belah dan merencanakan konflik internal di kalangan umat Islam melalui berbagai (kemasan) pola, program bantuan, termasuk berkedok capacity building dan lainnya”.
ISIS menjadi isu terorisme hangat di media-media mainstream saat ini, sesuai dengan yang ada pada dokumen RAND, ini merupakan strategi mereka untuk propaganda memecah-belah di dalam konflik internal kalangan umat Islam, dengan maksud tujuan melabeli Islam adalah teroris yang patut diperangi, padahal Islam tidaklah seperti yang digambarkan.
Dalam dokumen lainnya yang senada, Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat (National Inteligent Council) atau NIC pada Desember 2004 membuat sebuah dokumen bertajuk Mapping The Global Future. Tugas NIC sendiri ialah meramal masa depan dunia. Tajuk NIC di atas pernah dimuat di USA Today pada 13 Februari 2005, juga dikutip oleh Kompas edisi 16 Februari 2005.
Desember 2004, Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat (National Inteligent Council / NIC) membuat dokumen bertajuk Mapping The Global Future yang meramal masa depan dunia tahun 2020. Kalian bisa melihat dokumen tersebut disini *www.futurebrief.com/project2020.pdf*
Inti laporan NIC tentang perkiraan situasi tahun 2020-an. Rinciannya ialah sebagai berikut:
Dovod World: Kebangkitan ekonomi Asia, dengan China dan India bakal menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia;Pax Americana: Dunia tetap dipimpin dan dikontrol oleh AS;
A New Chaliphate: Bangkitnya kembali Khilafah Islamiyah, yakni Pemerintahan Global Islam yang bakal mampu melawan dan menjadi tantangan nilai-nilai Barat; dan Cycle of Fear: Muncul lingkaran ketakutan (phobia). Yaitu ancaman terorisme dihadapi dengan cara kekerasan dan akan terjadi kekacauan di dunia – kekerasan akan dibalas kekerasan.
Penulis utama laporan ini, Angel Rabasa, mengatakan bahwa “Amerika Serikat memiliki peran penting untuk bermain di level moderat. Apa yang dibutuhkan pada tahap ini adalah untuk memperoleh pelajaran dari pengalaman Perang Dingin, menentukan penerapan mereka ke kondisi dunia Islam saat ini, dan mengembangkan sebuah “road map” untuk pembangunan Muslim moderat dan jaringan muslim liberal”.
Masih menurut dokumen ini, mereka mendukung muslim moderat dan liberal di Asia Tenggara menggunakan media untuk merespon dengan cepat dan efektif paham radikalisme ke masyarakat, yang menyebabkan dua kubu saling bersebrangan untuk menimbulkan perpecahan.
Mereka menciptakan program radio muslim liberal dengan topik “Agama dan Toleransi” yang menjadi acara talk show paling populer di Indonesia. Transkrip dari acara ini sudah diterbitkan di Jawa Pos dan membuat sindikasi di lebih dari 70 surat kabar.
Langkah pertama dari usaha adu domba itu adalah melakukan pengelompokan umat Islam menjadi 4 (empat) berdasarkan kecenderungan dan sikap politik terhadap Barat dan nilai-nilai demokrasi.
Pertama: kelompok fundamentalis, yaitu kelompok yang dinilai menolak nilai-nilai demokrasi dan budaya Barat serta menginginkan sebuah negara otoriter yang puritan yang akan dapat menerapkan Hukum Islam yang ekstrem.
Kedua: kelompok tradisionalis, yaitu kelompok yang menginginkan suatu masyarakat yang konservatif.
Ketiga: kelompok modernis, yaitu kelompok yang menginginkan Dunia Islam menjadi bagian modernitas global. Mereka juga ingin memodernkan dan mereformasi Islam dan menyesuaikan Islam dengan perkembangan zaman.
Keempat: kelompok sekular, yaitu kelompok yang menginginkan Dunia Islam dapat menerima paham sekular dengan cara seperti yang dilakukan negara-negara Barat dimana agama dibatasi pada lingkup pribadi saja.
Langkah berikutnya adalah melakukan politik belah bambu, mendukung satu pihak dan menjatuhkan pihak lain serta membenturkan antar kelompok.
Pertama: dukung kelompok modernis dengan mengembangkan visi mereka tentang Islam sehingga mengungguli kelompok tradisionalis. Caranya dengan memberikan arena yang luas agar mereka dapat menyebarkan pandangan mereka. Mereka harus dididik dan diangkat ke tengah-tengah publik untuk mewakili wajah Islam kontemporer.
Kedua: dukung kelompok tradisionalis sebatas untuk mengarahkan mereka agar berlawanan dengan kelompok fundamentalis dan untuk mencegah pertalian yang erat di antara mereka; menerbitkan kritik kaum tradisionalis atas kekerasan dan ekstremisme yang dilakukan kaum fundamentalis; mendorong perbedaan antara kelompok tradisionalis dan fundamentalis; mendorong kerjasama antara kaum modernis dan kaum tradisionalis yang lebih dekat dengan kaum modernis; juga mendorong popularitas dan penerimaan atas sufisme.
Ketiga: dukung kelompok sekularis secara kasus-perkasus dan mendorong pengakuan fundamentalisme sebagai suatu musuh bersama; mendorong ide bahwa agama dan negara dapat dipisahkan, dan hal ini tidak membahayakan keimanan tetapi malah akan memperkuatnya.
Keempat: musuhi kelompok fundamentalis dengan menunjukkan kelemahan pandangan keislaman mereka; mendorong para wartawan untuk mengekspos isu-isu korupsi, kemunafikan dan tidak bermoralnya kaum fundamentalis, pelaksanaan Islam yang salah dan ketidakmampuan mereka dalam memimpin dan memerintah. Posisikan mereka sebagai pengacau dan pengecut, bukan sebagai pahlawan, serta dorong perpecahan antara kaum fundamentalis.
RAND dalam kesimpulannya juga mengatakan bahwa AS sudah gagal dalam menerapkan strategi melawan terorisme dengan mengandalkan kekuatan militer. “AS tidak mampu secara efektif melakukan kampanye melawan terorisme dalam jangka panjang, terutama terhadap kelompok al-Qaidah dan kelompok-kelompok yang oleh AS dianggap kelompok terorisme tanpa memahami bagaimana kelompok terorisme itu akan berakhir, ” kata Seth Jones, penulis dari hasil studi yang juga pakar politik.
“Dari sejumlah fakta, kekuatan militer terbukti terlampau tumpul jika digunakan sebagai instrumen untuk melawan kelompok-kelompok terorisme. Kekuatan militer efektif hanya tujuh persen dari kasus-kasus yang diteliti, ” sambung Jones.
Jadi yg efektif politik adu domba muslem moderat dan moslem kaffah (yang mereka sebut moslem radikal atau teroris).
Dokumen RAND Corporation, Sebuah Desain Perang Terencana Melawan Islam