Oleh: M Rizal Fadillah*
Sikap sok kuasa pendukung Ganjar perlu mendapat pelajaran. Seenaknya memasang baliho yang bernuansa kampanye di lokasi instansi militer. Merasa bahwa Ganjar didukung PDIP jadi semaunya memasang baliho. Sikap Dandim 1013/MTW yang mencopot baliho itu menurut Kapuspen TNI Laksda Julius Widjojono adalah dalam rangka menjaga netralitas TNI.
Upaya menjaga netralitas sudah sangat tepat sebab betapa bahaya negara jika TNI, dan juga Polri, terlibat dalam kegiatan politik praktis. Apalagi ikut dalam dukung mendukung salah satu Calon Presiden. TNI harus menjaga jarak yang sama dengan semua kandidat dan semua partai politik. Menurut UU No 34 tahun 2004 Pasal 2 butir d ditegaskan bahwa sebagai tentara profesional TNI “tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis”.
Sikap tepat Dandim Muara Teweh Barito Utara yang dibela Panglima TNI Laksamana Yudo Margono menjadi contoh bagi daerah lainnya. Kita teringat sikap Pangdam III Siliwangi Mayjen Kunto Arief Wibowo yang mewanti-wanti pentingnya politik beretika. Memasang baliho Ganjar di lokasi Makodim adalah berpolitik tidak beretika. Cermin dari mendudukan politik sebagai panglima. Bukan hukum dan etika.
Yang menggelikan adalah ocehan Guntur Romli yang memprotes pencabutan baliho, gelinya karena katanya dengan pencabutan baliho Ganjar justru TNI tidak netral. Argumen terbalik-balik. Teriak lantang bahwa yang berhak mencabut baliho adalah Satpol PP. Ngerti tidak ya bahwa baliho itu dipasang di lahan Makodim bukan di area umum. Jadi Kodim berhak untuk mencabut.
Berbeda dengan kasus cawe-cawe Pangdam Jaya dulu yaitu Mayjen TNI Dudung Abdurrahman yang mencabut baliho Habib Rizieq Shihab yang terpasang di Petamburan, itu area Kantor FPI. Memang semestinya Satpol PP yang berhak mencabut, bukan Dudung. Hebatnya sang “Satpol” itu ternyata naik pangkat terus hingga menjadi Jenderal.
Nah, mas Guntur Romli seharusnya dulu teriak sekencengnya kepada Bapak Dudung, bukan sekarang dimana tindakan TNI yang mencabut baliho Ganjar Pranowo sudah sangat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ganjar bukan tokoh yang berhak mendapat perlakuan istimewa. Dia Gubernur yang sudah merasa jadi Presiden. Mimpi.
PDIP sendiri tidak mesti menekan TNI untuk pemasangan baliho Ganjar. Sebaliknya harus menyadari akan kesalahannya. Kekuasaan tidak boleh disalahgunakan.
PDIP punya catatan hitam teranyar dengan menggiring BRIN yang Ketua Dewan Pengarahnya adalah Megawati Ketum PDIP. Melakukan “penelitian” untuk menyukseskan Ganjar dalam kaitan dengan kaum milenial. Penuh puja-puji untuk Ganjar Pranowo. Dari sisi etika maka penggunaan badan penelitian negara untuk kepentingan politik seperti ini dapat dikualifikasi sebagai perbuatan yang tidak bermoral.
Kembali ke baliho, sikap Panglima TNI Laksamana Yudo Margono yang pasang badan untuk membela anak buahnya patut untuk mendapat acungan jempol. Berbeda dengan Panglima TNI terdahulu Jenderal Andika yang menyudutkan anak buah soal persyaratan keturunan PKI. Jenderal Andika malah membela keturunan PKI untuk dapat menjadi prajurit TNI.
Sejarah kelam penghianatan PKI terhadap ideologi Pancasila diabaikan. PKI dianggap teman yang harus dikasihani dan disayangi.
Kini Jenderal TNI (Purn) Andika Perkasa bertugas untuk menjadi Tim Sukses Capres PDIP Ganjar Pranowo. Bahkan ia menyatakan siap untuk menjabat sebagai Ketua Tim Sukses.
Kisah TNI memang menarik. Dulu tahun 1965 TNI (ABRI) menjadi korban dari kejahatan PKI akan tetapi saat ini dengan Keppres No 17 tahun 2022 dan Inpres No 2 tahun 2023 serta Keppres No 4 tahun 2023 TNI yang justru disalahkan sebagai pelanggar HAM berat terhadap aktivis dan keluarga PKI.
Sungguh ironi rezim Jokowi. Adakah rezim ini memang PKI ?
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 18 Juli 2023