April 27, 2017
Oleh: Eep Saefullah Fatah
Rizki yang baik,
Saya ajak dan ingatkan Anda untuk gak cengeng soal isu agama ini. Saya sendiri mulai muak dengan banyak pendukung Ahok terus berkutat soal ini.
Begini cara kita melihat isu agama itu secara tak cengeng.
Jika dalam kontestasi berhadap-hadapan kandidat lelaki vs perempuan maka isu gender naik ke atas permukaan; kandidat dari suku ttt vs dari suku yang lain, isu kesukuan mencuat ke atas; kandidatnya beda agama maka isu agama mencuat. Ini sangat biasa dalam semua kontestasi di seluruh dunia. Kita sebut ini sebagai isu kontestasi antar-golongan.
Isu itu menjadi lebih intens jika isu kontestasinya berubah menjadi kontestasi mayoritas vs minoritas. Sentimen mayoritas gampang tersulut dan kalangan minoritas yang terdesak harus “kreatif” untuk bisa memenangkan kontestasi itu. Apakah ini persoalan khas Indonesia?
Bukan! Saat John F Kennedy berhadapan dengan Nixon dan memenangkan Pilpres AS (1960), Kennedy harus kreatif karena dia minoritas Katolik yang harus melawan Nixon yang mayoritas Protestan. Sama sekali gak mudah buat Kennedy untuk sampe ke Gedung Putih. (Bahkan sampe saat saya di Columbus, Ohio dulu, masih ada orang Katolik Amerika percaya bahwa Kennedy ditembak mati karena dia berasal dari agama minoritas).
Bagaimana dengan Ahok. Ahok harus berhadapan dengan fakta kontestasi minoritas-mayoritas itu. Isu agama bukan saja mencuat tapi intens, sebab ini bukan sekadar kontestasi antar-golongan. Harusnya dia kreatif kalo mau menang. Pernyataan Ahok di Pulau Seribu soal Al Maidah 51 itu — terlepas perdebatan bahwa itu penistaan agama atau bukan — adalah cara yang 180 derajat bertolak belakang dengan kebutuhan untuk kreatif itu.
Dengan kesembronoan tingkat dewa itu Ahok telah menjebol “bendungan sentimen agama” di Indonesia, bukan cuma di Jakarta. Jebolnya bendungan itu telah melahirkan kemarahan besar umat Islam. Kemarahan umat terbesar sepanjang sejarah Reformasi atau bahkan mungkin sejarah Indonesia modern.
Pendukung Ahok selalu menyalahkan terjadinya banjir kemarahan umat ini tanpa mau introspeksi bahwa banjir ini terjadi karena Ahok menjebol bendungan itu! Apapun, kembali fokus ke diskusi kita, kesembronoan itu bertentangan secara diametral dengan kebutuhan creative campaign pihak Ahok.
Contoh lain. Membagi sembako dengan mengenakan baju kotak-kotak, didampingi orang-orang berbaju partai (bahkan di beberap tempat sambil diamankan oleh polisi), adalah kampanye yang melanggar keharusan untuk kreatif itu. Bahkan, itu bisa disebut sebagai kedunguan yang tak terperikan. Jangan salahkan orang lain — apalagi lagi-lagi menyalahkan agama — kalo dalam 4 hari terakhir menjelang 19/4/2017, basis pemilih Ahok tergerus dan terjadi penetapan pilihan (para undecided voters dan pemilih belum mantap) ke Anies-Sandi. Siapa yang bilang begini? Exit Poll PolMark Indonesia.
Ada hal lain selain isu kontestasi antar golongan dan minoritas-mayoritas itu, yaitu fakta bahwa Ahok adalah petahana, pejabat yang sedang berkuasa. Banyak (di atas 70%) orang Jakarta puas sama kerjanya tapi banyak di antara mereka (di atas 50%) gak inginkan lagi dia sebagai Gubernur. Fakta ini sudah terlihat dari survei PolMark Indonesia Februari dan Juli 2016, jauh sebelum isu Al Maidah 51 dihadirkan Ahok ke atas meja kontestasi.
Kenapa begitu? Saya pake istilah Rizki soal “melayani” dan “baik”. Anda bilang kan Anda ingin Gubernur yang melayani dan baik. Survei-survei kami memperlihatkan bahwa Ahok itu cenderung dianggap “melayani” tapi tidak dianggap “baik”. Ketika soal “baik” dianggap lebih penting daripada “melayani”, mampus lah dia (secara politik) sebagai petahana. Ini hukum besi pemerintahan demokratis di mana saja. Pendukung Ahok jangan cengeng soal ini.
Sebagai penutup, saya mau kasih analogi tentang Ahok yang melayani tapi tidak baik itu. Ahok punya kewajiban membuatkan sarapan buat saya, dan saya berhak mendapatkan sarapan yang dia siapkan. Saya duduk di meja menunggu sarapan saya. Ahok datang. Sambil meletakkan piring makanan dan gelas minuman di depan saya, sambil melotot Ahok membentak saya: “Bangsat! Maling! Itu sarapan kamu! Makan situ!”
Rizki, sarapan itu hak saya. Menyiapkannya kewajiban Ahok. Dia penuhi kewajibannya. Saya terima haknya. Tapi dengan cara dia memenuhi hak saya seperti itu, wajar kalo saya mencari pengganti Ahok. Wajar juga kalo saya muak mendengar orang-orang yang mendukung Ahok (sang mantan penyedia sarapan saya), terus-menerus bilang: “Biadab si Eep itu karena mengeksploitasi isu sopan santun buat ngeganti Ahok!
Tabik!