REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah meminta Kepolisian menjelaskan penangkapan beberapa aktivis yang hendak menggelar aksi massa pada Jumat (31/3). Menurutnya penangkapan bisa dilakukan dalam kasus tangkap tangan dan dalam jenis pidana tertentu, bukan hanya karena mengkritik pemerintah.
“Kalau dalam negara demokrasi harus lebih dahulu menunjukkan ketaatannya kepada hukum, Karena aparatur negara disumpah untuk taat hukum sementara rakyat tidak pernah disumpah untuk taat hukum,” kata Fahri di Gedung Nusantara III Senayan, Jakarta, Jumat.
Fahri menilai semua lembaga negara seperti Kepolisian harus menjelaskan kepada masyarakat terkait apa yang dilakukannya sehingga tindakan institusi itu tidak boleh sembarangan. “Karena itu jangan hanya pencitraan namun jelaskan secara baik-baik,” ujarnya.
Dia menjelaskan kalau seorang diindikasikan berbuat pidana berdasarkan alat bukti permulaan maka bisa dilakukan pemanggilan. Jika panggilan pertama hingga ketiga tidak datang maka bisa dilakukan pemanggilan paksa.
Menurut dia, apabila dalam panggilan paksa itu yang bersangkutan tidak datang maka orang tersebut bisa dilakukan penangkapan, sehingga semua prosedur harus dilalui dahulu dan tidak asal tangkap.
“Kalau seorang itu teriak-teriak sambil membawa senjata dengan ancaman kepada Presiden, maka itu boleh ditangkap bahkan bisa dilumpuhkan dan itu namanya tangkap tangan yaitu alat bukti serta pelaku ada di satu tempat,” ujarnya.
Fahri menilai Kepolisian tidak bisa menangkap orang hanya karena yang bersangkutan mengkritik pemerintah. Karena kritik adalah keniscayaan dalam negara demokrasi seperti Indonesia.
Baca juga. GNPF MUI: Aksi 313 tak Bisa Dilarang Lagi.
Menurut dia, dalam negara demokrasi ‘keributan’ karena kritik yang disampaikan masyarakat adalah wajar sehingga kalau mau negara yang senyap maka itu adalah negara otoriter. “Negara otoriter itu seperti Korea Utara, orang yang dianggap pengkritik pemerintah tiba-tiba ‘hilang’, saya tidak mau Indonesia seperti itu,” katanya.