Wednesday, November 27, 2024
HomeInformasi & KabarGenosida Rohingya: Pak Tito, Berhati-hatilah Menjadi POLI(TI)SI

Genosida Rohingya: Pak Tito, Berhati-hatilah Menjadi POLI(TI)SI

By Asyari Usman

Sebetulnya saya tidak ingin memperpanjang soal “over-stepping” (melangkah terlalu jauh) yang dilakukan oleh Pak Kapolri, Jenderal Tito Karnavian, terkait genosida warga muslim Rohingya. Tetapi, karena penyataan Pak Tito tidak hanya politis sifatnya melainkan juga menambah luka bagi orang yang berduka atas penderitaan warga Rohingya, pantas juga rasanya saya lanjutkan pembahasan terdahulu.

Pak Tito mengatakan bahwa ada kelompok tertentu yang menggoreng genosida warga Rohingya untuk menyerang Presiden Jokowi. Pak Tito menyimpulkan itu berdasarkan analisis opini tentang Rohingya yang beredar di Twitter.

Kemarin saya katakan bahwa Pak Tito merancukan fungsi beliau sebagai polisi menjadi politisi. Sebab, pernyataan seperti itu tidak punya tafsiran lain kecuali “ingin membantu posisi politik Pak Jokowi”. Kapolri dan segenap personel kepolisian tidak ditugaskan untuk mengkaunter opini publik apalagi sampai membangun opini tandingan. Pekerjaan ini adalah tugas tim politik Pak Jokowi dan para politisi pendukung beliau. Atau, pengamat politik yang pro-beliau.

Kalau pun Anda, Pak Tito, memiliki perangkat yang lengkap untuk menganalisis opini yang berkembang di masyarakat, silakan saja. Tetapi, kesimpulan analisis oleh perangkat Anda itu “haram” hukumnya untuk Anda dijual kepada khalayak. Silakan untuk konsumsi sendiri.

Mari kita pahami bahwa kaum muslimin di Indonesia, bahkan di seluruh penjuru dunia, sedang berkabung dan merasa “helpless” (tak berdaya) dalam mencerna kejadian genosida warga muslim Rohingya. Setiap individu muslimin yang di dadanya masih ada iman yang lurus, hampir pasti akan bereaksi keras terhadap kekejaman dan kekejian para pelaku pembantaian di Myanmar itu.

Di Indonesia, reaksi itu pun muncul dalam ekspresi yang beragam. Ada yang bisa mengendalikan luapan kemarahannya dan ada yang tampak “liar” dengan menggunakan bahasa yang terbaca sebagai “serangan terhadap Presiden Jokowi”. Nah, bahasa yang berkonten serangan ini pun sepatutnya dipahami sebagai bentuk frustrasi khalayak terhadap keraguan pemerintah Indonesia untuk mewakili rakyat yang rasa kemanusian dan rasa persaudaraannya itu sedang tersayat-sayat.

Pak Tito, kaum muslimin Indonesia sangat terpukul melihat penyiksaan warga Rohingya yang tak berdaya itu. Ketika Anda keluar dengan pernyataan bahwa genosida Rohingya digoreng untuk menyerang Presiden Jokowi, itu sama artinya dengan menyirami luka rakyat Indonesia dengan air garam.

Memang tidak semua orang Indonesia merasakan luka itu. Tidak juga semua petinggi dan politisi. Namun, kalau ada “tetangga yang tidak kita sukai” sedang berduka, setidaknya kita tunjukkanlah rasa simpati kita. Bukan malah mencari-cari kesalahan si tetangga, apalagi menghujat mereka dengan pernyataan yang menyakitkan perasaan. Pernyataan bahwa para pelayat yang datang ke rumah duka tetangga itu, sedang menggoreng rasa duka mereka.

Andaikata harus juga mengeluarkan pernyataan “menggoreng” itu, tunggulah setelah duka tetangga itu mereda.

Pak Tito, tentulah Anda memiliki hak untuk mendukung Pak Jokowi. Untuk membantu posisi politik beliau. Bahkan, tidak salah juga kalau Bapak terjun menjadi aktivis politik untuk Pak Jokowi.

Tetapi, ketika Anda masih memakai seragam dinas kepolisian, kami menganjurkan kepada Bapak agar berhati-hatilah menjadi POLI(TI)SI.

(Penulis adalah wartawan senior)

Mohon kawan-kawan tidak menggunakan kata-kata yang emosional dalam berkomentar. Terima kasih banyak!

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments

Noersatrio Harsanto on INDONESIA AKAN DIKEPUNG RELAWAN ANIES
sukirno on BUNUH DIRI PPP