Oleh: M Rizal Fadillah*
Ejekan Jokowi atas Istana Jakarta dan Bogor sebagai bau kolonial, cukup mengherankan. Pembenaran Istana IKN sampai perlu untuk mencela Istana Jakarta dan Bogor yang sudah digunakan oleh semua Presiden terdahulu. Lalu bahasa tidak enaknya lagi ialah bahwa Istana tersebut “menghantui”. Mungkin hantu Istana Jakarta dan Bogor tidak akur dengan hantu Jokowi. Hantu Solo.
Sudah banyak kritikan pada Istana Garuda yang mirip kampret, bernuansa mistis dan jauh dari mirip burung Garuda simbol negara. Nyoman Nuarta menanggapi kritikan dengan ungkapan pengkritik sebagai tak tahu seni. Istana Garuda mestinya milik bangsa dan bernilai seni yang dapat dinikmati bangsa, bukan keindahan seni dalam pandangan Nyoman Nuarta sendiri. Istana negara itu bukan patung, meski eksistensi patung menjadi bagiannya.
Perancangan atau disain semestinya dilakukan oleh arsitek bersertifikat, bukan oleh seniman patung. Ada perundang-undangan yang mengatur untuk itu. Selidiki kompetensi seniman Nyoman Nuarta untuk mendisain Istana Garuda, apalagi ternyata jadinya malah Istana Kampret. Argumen Nyoman untuk membela simbol negara Garuda mudah dipatahkan, bukankah sebaliknya justru menista ?
Istana kolonial telah “direbut” menjadi Istana kemerdekaan, sebaliknya Istana yang dibangun oleh kita sendiri di IKN ternyata menjadi simbol dan cermin dari perilaku rezim kolonial. Jokowi telah membabat hutan, merusak lingkungan, merampas tanah adat, serta memberi hak ratusan tahun kepada sesama penjajah yang bertopeng investasi.
Jokowi menyerahkan Rempang kepada RRC dan mengusir penduduk asli Melayu, membumbungkan hutang negara, jor-joran impor, BBM naik, banjir PHK, pemborosan di tengah kemiskinan rakyat, korupsi pejabat merajalela, pembunuhan politik atas 6 syuhada, 9 pengunjuk rasa dan 800 an petugas Pemilu, merampok dana Covid, memaksa pindah ke IKN, membangun politik dinasti, serta menarik pajak semua sektor pendapatan rakyat.
Watak di atas tidak berbeda dengan kaum penjajah di jaman kolonial. Jokowi adalah londo ireng yang berprofil merakyat padahal penjahat. Istana IKN adalah wajah kampret penghisap darah. Trilyunan rupiah ambrol untuk proyek sia-sia atau tidak berguna bagi rakyat. Mengumbar nafsu sendiri dan kroni. Soal jilbab telah menyakiti umat Islam. BPIP merusak syari’at dibiarkan oleh Jokowi. Tidak ada tindakan atau sanksi.
Lalu, melalui pidato kenegaraan 16 Agustus Jokowi memelas minta maaf. Biasa air mata katak. Omongan yang tidak ditindaklanjuti dengan tindakan. Jika benar-benar merasa salah maka konsekuensinya adalah mundur dari jabatan sebagai Presiden sekarang juga. Bukan berbasa basi tapi masih penuh ambisi. Memainkan tangan kekuasaan dengan licik dan berpolitik menghalalkan segala cara termasuk devide et empera.
Tiada maaf bagi Jokowi sang penjajah sebelum mundur dari singgasana. Bila bandel dan terus bermain politik culas, maka satu-satunya jawaban atas permintaan maafnya adalah tangkap dan adili. Proses hukum segala kejahatan politik yang telah dilakukannya selama 10 tahun. Waktu yang cukup untuk menyengsarakan rakyat, meninabobokan konglomerat, dan menjual kedaulatan kepada negara China keparat.
Gerakan kemerdekaan harus dicanangkan untuk melawan penjajah, menumbangkan kekuasaan zalim dan tidak terbuai apalagi terpesona oleh deraian air mata katak yang penuh kepalsuan. Palsu ijazah, palsu identitas keluarga, palsu kapasitas anak untuk menjabat, serta palsu menipu simbol kampret seolah garuda.
Penjajah yang minta maaf harus dijawab dengan gerakan kemerdekaan rakyat agar memulihkan kedaulatannya.
Istana IKN adalah hantu penghisap darah rakyat. Istana Jakarta dan Bogor bukan kolonial tapi tempat Presiden yang pandai mensyukuri kemerdekaan.
Jokowi itu tirani berwajah dewi hipokrisi.
17 Agustus 2024 harusnya menjadi peringatan kemerdekaan lepas dari rezim Jokowi.
Kerusakan ini sudah terlalu besar dan lama. Allahu Akbar Merdeka !
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 17 Agustus 2024