Oleh : DR. Masri Sitanggang
Kolam ikan berukuran 4 x 8 meter di belakang rumahku itu menjadi hiburan. Setiap sore, setelah lelah beraktivitas seharian, aku duduk di bangku panjang yang dibuat dari buluh. Ikan-ikan –aku punya dua buah kolam, yang satunya untuk ikan lele jumbo dan yang satunya lagi untuk ikan nila— itu sepertinya sudah faham. Kalau aku duduk di bangku itu, mereka berlomba berenang menepi mendekatiku, menanti aku menabur pellet, makanan mereka. Itu sebahagian yang aku senang, seolah aku dan ikan-ikan itu sudah punya hubungan bathin, bisa berkomunikasi. Kalau sudah begitu, aku pun tersenyum pada ikan-ikan itu. Terkadang malah ngomong sendiri, seperti menyapa mereka. Lalu kutaburkan pellet, mereka pun saling rebut. Air berkecipak bunyinya. Sebahagian lelah yang kurasakan sehabis kerja seharian jadi terobati karenanya.
Terkadang aku nakal. Setelah mereka menepi mendekatiku, aku bukannnya memberi makan di kumpulan mereka, melainkan melemparkan jauh ke sudut yang lain. Ikan-ikan itu pun berlomba mengejar pellet itu, dorong-dorongan dan mungkin sikut-sikutan. Kalau ikan nila, ada yang nampak melompati kawan-kawannya. Gemercik airnya enak di telingaku. Serulah, pokoknya. Habis makanan di sudut itu, kulempar lagi ke sudut yang lain. Begitu seterusnya, aku melempar makanan ke tempat yang berbeda-beda agar aku bisa menikmati ikan-ikan saling berenang kencang, “tendang-tendangan” berlomba mendapatkan makanan, sampai matahari mendekati peraduannya di balik tembok pekaranganku dan maghrib tak lama lagi tiba. Aku senang, kolam ikan jadi hiburan, lelah pun hilang.
Kolam itu sekarang tak lagi berisi ikan. Namun bayangan peristiwa sekitar 15 tahunan silam itu muncul di benakku. Bukan lagi sekedar untuk menghibur, melainkan juga memberi pelajaran dan peringatan. Aku bukan lagi sebagai pembuat sekenario pelempar pellet, tapi munngkin sebaliknya, lebih tepat sebagai “ikan” di kolam tanpa air.
Setidaknya, lima tahun terakhir ini umat Islam Indonesia sibuk dalam berbagai persoalan. Dari mulai masalah isu kolom agama di KTP, pelajaran Agama di sekolah, pembatalan perda syariah, LGBT, penistaan agama dan serangan verbal terhadap umat Islam serta ajarannya, tuduhan radikalisme, intoleransi, anti NKRI dan tuduhan terorisme yang tak pernah surut, kriminalisasi ulama dan aktivis Islam, perlakuan tidak adil, produk undang-undang yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan/atau merugikan Umat Islam dan segudang persoalan lainnya. Itu semua datang susul-menyusul, sambung menyambung silih berganti. Rasanya belum pernah dalam sejarah Indonesia merdeka “serangan” persoalan Islam dan umatnya seintensif dan semassif lima tahun belakangan ini. Setidaknya, begitulah yang kutahu. Oleh karena itu, rasanya, sulit untuk mengatakan bahwa hal ini terjadi dengan sendirinya tanpa sekenario.
Aku membayangkan umat Islam ini seperti ikan-ikan di dalam kolam. Mereka disibukan menhadapi masalah-demi masalah. Kemarin dulu disibukkan dengan persoalan A, umat Islam ramai-ramai meresponnya dengan gegap gempita. Kemarin ini dimunculkan lagi persoalan B, semua umat Islam keluar dari sarangnya menanggapi. Hari ini dikagetkan dengan persoalan C pula, umat Islam pun berkerumun menghadapinya. Sang penulis skenario menonton tersenyum gembira sambil merancang skenario lain yang lebih menentukan. Apa itu ? Ya, terserah pada sang perancang . Yang pasti, kalau dulu aku ingin menangkap ikan, cukup aku beri pellet lalu ikan berkumpul dan “crep”, tinggal tangguk. Artinya, penyibukan umat Islam saat ini sangat boleh jadi hanyalah bagian kecil dari skenario besar. Bahasa keren nya, ada Grand Design di belakang semua ini.
Sementara itu, Gerakan Dakwah Islamiyah sepertinya masih sebatas merespon persoalan. Belum bersifat antisipatif, apalagi inisiatif-kreatif. Itu pun terbatas merespon fenomena, gejala, belum menyentuh akar maslahah. Belum pula bisa memprediksi bentuk dan kekuatan serta arah serangan yang akan datang. Karena itu, penyelesaiannya tak pernah tuntas. Sayangnya lagi umat, seperti ikan-ikan di kolam, semua berebut menuju titik di mana pellet (baca persoalan) ditaburkan, sehingga meninggalkan banyak ruang kosong “tak terjaga” di bagian lain dari kolam itu. Semua ingin tampil terdepan. Padahal, boleh jadi orang sedang menyusun skenario lain untuk ruang kosong itu.
Fenomena Gerakan Dakwah seperti ini mengingatkan aku bermain bola kaki pada masa kanak-kanak dulu. Dengan semangat untuk memenangkan pertandingan, aku dan teman-teman satu tim –begitu juga tim lawan, ramai-ramai mengejar bola ke mana pun perginya. Jadi, ke mana bergulirnya bola, ke situ semua pemain. Akhirnya, bola dikerumuni banyak orang hingga tak dapat bergerak. Terkadang kaki teman yang tertendang, bukan lagi bola.
Ada juga fenomena lain, yakni ada pemain ingin membawa sendiri bola dari pertahanan ke gawang lawan; tak ingin berbagi dengan teman. Ia mau menunjukkan kebolehannya di lapangan. Akhirnya, gagal. Ini sering pula jadi sumber pertengkaran sesama teman satu tim.
Main bola seperti itu tentu kelitru. Ketika aku masuk ke klub “Garuda Putra”, waktu remaja, Pak Ngadimin, pelatih kami, mengajarkan agar kami menjaga “pos” masing-masing. Di situ aku memahami arti kerja sama tim. Di situ aku memahami arti membagi bola. Maka, aku pun mencoba menjaga pos kiri luar, atau mengisi ruangan kosong yang ditinggalkan oleh kawan. Kami pun diajarkan untuk tidak berpikir harus menyarangkan sendiri bola ke gawang lawan. Yang harus dipikirkan adalah, bagaimana kesebelasan menang. Hasilnya, klub “Garuda Putra” memang cukup diperhitungkan di kampong kami waktu itu.
Ajaran Pak Ngadimin kudapatkan pula dalam bentuknya yang lain. Adalah Pak Muhammad Natsir, mantan Ketua Masyumi dan pendiri Dewan Dakwah, yang mengingatkan bahwa Dewan Dakwah tidak perlu mengerjakan apa yang telah atau sedang dikerjakan ormas Islam lain. Di waktu usiaku sekitar 29 tahun, aku diamanahi mengurus Dewan Dakwah di Sumatera Utara membantu para senior dan tokoh-tokoh sepuh. Di antara pesan penting Pak Natsir, ya itu tadi : Dewan Dakwah tak perlu mengerjakan (apalagi sekedar mengulang) apa yang sudah dan sedang digarap oleh ormas Islam lain. Dewan Dakwah harus bisa mengisi kekosongan dakwah di lapangan lain. Terhadap apa yang dikerjakan ormas atau lembaga Islam lainnya, kata pak Natsir, Dewan Dakwah adalah Suporting, pendukung.
Mengisi ruang kosong, atau kekosongan –atau juga menjaga supaya tidak ada ruang kosong dalam lapangan dakwah, ternyata punya nilai strategis yang sangat penting. Dalam permainan bola kaki, teman yang sedang dikepung lawan bisa mengirim bola ke ruang tanpa lawan itu. Dalam kasus serangan “kolam ikan”, persoalan yang dilemparkan akan senantiasa ada yang langsung menampungnya di setiap lapangan. Ini pikiran mendasar yang antisipatif. Tetapi memang memerlukan pemikiran kreatif, inovatif dan keberanian mengambil inisiatif.
Untuk alasan itulah –di samping alasan lain tentunya, kemungkinan mengapa Dewan Dakwah dalam banyak hal selalu menjadi rujukan gerakan dakwah, bukan jadi pesaing. Dewan Dakwah dianggap terdepan dalam banyak hal. Pemikiran dan karya pak Natsir selalu menjadi inspirasi bagi tokoh lain. Meminjam selogan sebuah perusahaan, “Pak Natsir sudah berbuat sebelum yang lain memikirkannya.”
Sebetulnya, Allah pun sudah mengingatkan orang beriman untuk tidak semua maju ke medan perang. Hendaklah ada segolongan dari orang beriman yang Tafaquhu fid Dien, mendalami agama, agar bisa memberi nasehat pada kaumnya. Aku membaca At Taubah 122 ini sebagai seruan menjaga ruang kosong sambil mengkaji secara seksama persoalan agar bisa memberi advis antisipatif kepada ummat yang (akan) maju ke medan laga. Dengan begitu, umat tak akan bisa diperlakukan seperti ikan di dalam kolam.
Dalam situasi umat Islam seperti sekarang ini, hasil Tafaquhu fid Dien Dewan Dakwah sangat dinantikan umat. Ummat memerlukan panduan dalam menghadapai persoalan dakwah yang semakin kompleks dan sambung menyambung.
Gagasan Dewan Dakwah untuk melahirkan Partai Islam Ideologis bersama ormas-ormas Islam lainnya, sebagaimana dilansir berbagai media, adalah bagian dari kerja antisipatif. Gagasan cerdas itu sangat tepat, setidaknya dilihat dari tiga hal.
Pertama. Persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam saat ini, adalah persoalan yang erat berkait dengan (kalau bukan bersumber dari) politik. Kelemahan umat Islam di lapangan politik, memungkinkan pihak tertentu leluasa membuat skenario menjadikan umat Islam seperti cerita ikan di dalam kolam. Maka membentuk Partai Islam Ideologis bersama-sama ormas Islam lainnya, adalah jawaban antisipatif yang langsung menyentuh akar masalah.
Kedua. Selama ini, dakwah politik belum mendapatkan tempat sebagaimana mestinya. Dakwah dalam arti materinya, belum beranjak jauh dari urusan ibadah mahdhoh. Ormas-ormas Islam dan lembaga dakwah membiarkan anggotanya mengambang dalam urusan politik, sehingga massa besar ormas Islam dan lembaga dakwah tidak berkorelasi positip terhadap kekuatan politik umat (atau tidak memberi pengaruh sama sekali). Dengan mengajak keikutsertaan ormas-oramas Islam dan lembaga dakwah membentuk Partai Islam Ideologis, peluang untuk merebut kekuatan politik akan terbuka lebar.
Ketiga. Hasil pemilu baru lalu menunjukkan perolehan partai sekuler jauh melampaui apa yang dicapai oleh “Partai Islam” atau partai yang berbasis pemilih Islam. Ini bisa terjadi dikarenakan massa ormas Islam mengambang dalam hal politik, tidak fokus memberi dukungan pada partai Islam. Lain dari itu, partai-partai yang ada belum pula menunjukkan beda nyata dalam hal ideology dan performance partai, sehingga partai Islam hampir tidak berbeda dengan partai sekuler. Untuk itu diperlukan kehadiran sebuah Partai Islam Ideologis yang jelas-jelas menunjukkan perbedaannya dengan partai sekuler.
Jadi, sekali lagi, gagasan Dewan Dakwah untuk melahirkan Partai Islam Ideologis bersama ormas-ormas Islam lainnya adalah gagasan cerdas yang antisipatif dan langsung menyentuh akar masalah umat Islam. Bravo Dewan Dakwah : mengerjakan apa yang belum dipikirkan orang lain.
Wallahu a’lam bisshawab.
Penulis adalah Ketua Gerakan Islam Pengawal NKRI (GIP-NKRI); Wakil Ketua Bidang Ideologi Majelis Permusyawaratan Pribumi Indonesia (MPPI)