Oleh: Agus Wahid*
Hasil sengketa pemilihan presiden (pilpres) 2024 siap diumumkan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebuah pengumuman yang disambut dengan beragam aksi. Sebagian elemen masyarakat sudah mempersiapkan aksi: pengerahan puluhan ribu orang di sekitar Gedung MK. Di antara mereka, siap menggelar istighashah qubro. Sebagian lagi berunjuk rasa dengan orasi persoalan hukum dan demokrasi. Mereka mengingatkan para hakim MK agar tetap committed to penegakan hukum yang adil dan benar tanpa harus takut menghadapi tekanan intimidatif siapapun, termasuk harus tahan menghadapi godaan sogok jutaan dolar yang siap menghampiri.
Atas nama pertahanan dan keamanan, terdapat barisan pertahanan dan keamanan yang menjaga teritorial Gedung MK, bahkan wilayah istana dengan persenjataan penuh siaga. Seolah mau perang dengan rakyatnya sendiri. Setidaknya, siap memuntahkan senjatanya ketika di antara massa dinilai mengganggu kepentingan rezim yang sedang mendukung penuh pasangan calon (paslon) Prabowo-Gibran (02).
Mengapa harus terjadi pengerahan massa dan penjagaan teritorial seolah mau perang? Yah, putusan MK terkait sengketa pilpres 2024 ini bukan hanya krusial, tapi penentu nasib bangsa-negara ini ke depan. Jika putusan itu tak sejalan dengan komitmen besar penegakan hukum yang adil dan benar, maka nasib bangsa dan negeri ini memang akan tenggelam sampai ke titik musnah. Itulah sebabnya, sebagian anak bangsa yang sungguh-sungguh mencintai negeri ini tak rela masa depan negaranya punah terampas oleh bangsa-negara lain (Tiongkok).
Untuk itu putusan MK sangat dinanti keberpihakannya pro keadilan dan kebenaran, bukan sebaliknya. Mungkinkah MK kali ini akan setia pada doktrin keberadilan dan kebenaran? Sebagian elemen masyarakat pesimis. Bisa dipahami landasan pemikirannya. Berkaca pada sengketa pilpres 2019, MK menolak gugatan sepenuhnya atas tuduhan pencurangan terstruktur, sistematis dan massif (TSM) yang dilontarkan kuasa hukum Prabowo-Sandi. Sisi lain, terdapat tekanan ekstra penuh dari rezim, sehingga MK tampak tak punya opsi lain, kecuali harus tunduk pada keinginan istana.
Satu sisi utama – yakni potensi tekanan rezim – itulah yang membuat pesimisme masyarakat terhadap komitmen keadilan MK pada sidang sengketa pilpres 2024 ini. Jika kita cermati secara komparatif, tekanan rezim kali ini jauh lebih powerful dengan segala daya dan cara. Landasannya, putusan MK kali ini menjadi penentu dirinya masihkah bisa melanjutkan kekuasaannya, meski melalui bonekanya, setidaknya melalui Gibran sebagai pintu masuk membangun politik dinastinya. Inilah argumentasi mendasar di balik upaya all out rezim terhadap putusan MK.
Namun demikian, jika kita amati perjalanan sidang MK terkait sengketa pilpres 2024 ini, kita saksikan “bandul” yang dperlihatkan Ketua MK (Suhartoyo), Saldi Isra dan Arif Hidayat. Mereka bertiga tampak kuat keberiphakannya pada keinginan besar anak bangsa ini yang sangat mendambakan terwujudnya keadilan dan kebenaran, yang dilandasi prinsip kejujuran. Mencermati sikap politik hukum ketiga hakim MK tersebut, muncul optimisme bagi pencari keadilan subtantif.
Bagaimana dengan kelima hakim MK lainnya? Tiga hakim di antaranya (Arsul Sani, Guntur Hamzah dan Ridwan Mansyur) telah memperlihatkan kecondongannya: pro pihak tergugat dan pihak terkait. Secara prinsipil, ketiga hakim MK ini sejalan dengan kepentingan rezim sebagai pengejawantahan kepentingan paslon 02.
Bagaimana dengan dua hakim lainnya lagi (Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh)? Inilah dua figur yang bakal menentukan hasil akhir putusan MK. Posisinya, bisa memperkuat arah politik hukum Ketua MK. Bisa juga sebaliknya: bandulnya condong ke kemauan istana. Inilah medan pertarungan nurani versus pragmatisme bagi kedua hakim tersebut.
Kini, kita berasumsi. Jika akhirnya MK – secara kelembagaan – menolak gugatan paslon 01 dan 03, meski terdapat tiga hakim yang dissenting opinion misalnya, berarti hasil penetapan KPU terhadap suara 02 mendapat pengukuhan secara hukum dan bersifat finan and binding. Akankah puluhan ribu orang yang berada di sekitar Gedung MK, bahkan jutaan orang yang berada jauh dari episentrum MK akan terima dan berdiam diri? No.
Ketidakterimaan bukanlah tak taat hukum. Tapi, meyakini adanya campur tangan istana yang memaksa MK tak bisa mengabulkan gugatan paslon 01 dan 03. Fakta kajahatan politik sudah terbeberkan secara jelas. Publik – melalui tayanan dan jejak digital persidangan MK – mendapatkan informasi valid. Itulah yang membuat ketidakterimaan terhadap putusan yang mengangkangi prinsip keadilan dan kebenaran. Inilah logika politik yang harus digaris-bawahi. Sekali lagi, bukan tak terima putusan MK, tapi sinyal kuat campur tangan istana yang membuat MK hilang independensinya.
Juga, bukan tak terima kalah, tapi fakta kejahatan sistematis dan terencana itu yang demikian jelas terinformasikan.
Fakta persekongkolan itu mendorong reaksi demonstratif-massif. Tentu, istana sudah memperhitungkan kekuatan demonstratif itu. Dengan posisi TNI dan POLRI yang sudah digenggamnya, maka gerakan kekuatan rakyat yang ada di seputar MK bahkan istana dinilai hanyalah kakuatan sempalan. Mudah dilumpuhkan. Inilah yang membuat istana “ndegek” (tolak pinggang kedua tangannya) seraya menantang. Semuanya akan dilumpuhkan, hanya dengan satu instruksi: amankan! Sebuah diksi bahasa halus dari kata “sikat sampai musnah”. Sungguh biadab. Tapi, itulah karakter penguasa otriter-diktator. Lebih sadis dari kekejaman Orde Baru. Maklum, ruh komunisme memang tampak sudah merasukinya. Sebuah sikap yang juga memandang sepi atas pemantauan HAM Internasional PBB.
Kita perlu merenung, jika reaksi frontalnya bersifat “manual” seperti yang terjalankan selama ini dalam berunjuk rasa, maka hasilnya pasti musnah. Seperti yang terjadi pada pasca pengumuman KPU pada pilpres 2019, nasib para pengunjuk rasa bagai binatang. Bukan hanya digebuki dan ditendang, tapi dibrondong. Yang lari menyelamatkan diri pun dikejar. Lalu, masihkah tetap bermodel “manual” dalam berunjuk rasa yang tidak “ngefek” itu?
Haruslah cari model gerakan invotif yang dinilai efektif. Tidak harus melibatkan ribuan orang tapi mampu menggerakkan resonansi sosial dan ekonomi yang sangat menentukan. Akan merepotkan barisan keamanan, karena memang terjadi secara sporadik dan di berbagai titik daerah. Itulah gerakan sosial yang menggiring aksi penjarahan di berbagai sentra, yang implikasinya berpotensi besar akan melumpuhkan sendi-sendi ekonomi. Dampak kontigionnya, inflasi akan segera meroket. Devaluasi rupiah makin drop. Berpotensi besar mencapai lebih dari angka Rp 20.000 / dollar US, yang kini sudah tembus Rp 16.117,80 /dollar AS (14 April).
Kesempoyongan ekonomi nasional akan menggerakkan gerakan massa bergeser, dari persoalan putusan MK yang berpihak pada rezim, ke entitas rezim sebagai the common enemy. Slowly but sure, krisis ekonomi dan moneter akan membuat rezim ini jatuh sebelum mengakhiri jabatannya (20 Oktober tahun ini). Berarti, ada kekosongan kekuasaan. Di masa inilah, posisi Pragib yang ditetapkan sebagai pemenang oleh KPU pun terancam. Suara anulirisasi terhadap Pragib segera berkumandang. Syangnya, MK sudah keluarkan putusan, bersifat final and binding. Sebuah kondisi yang menambah kacau. Meski bisa dihadirkan Menteri Pertahanan, Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri, tapi ketidakpercayaan rakyat demikian meluas. Maka, kondisi negara bagai tak berkepala pemerintahan. Kondisi ini semakin memperburuk suasana politik nasional.
Menganalisa sketsa politik tersebut, maka satu sisi yang perlu disadari MK: jangan coba-coba “bermain api”, terutama bagi para hakim MK yang sudah condong ke rezim. Nasib kalian akan sangat terancam jika tetap tak hiraukan suara pro keadilan subtantif. Sejumlah elemen rakyat akan terus menguntitmu. Setidaknya, hatimu akan selalu dibayang-bayangi kesalahan dalam bersikap anti keadilan yang dinanti seluruh rakyat yang waras akal. Karena itu, akan jauh lebih save dunia-akherat jika kalian menuruti prinsip dan nurani keadilan yang kini sedang dipertaruhkan.
Perkuat dan bersamalah dengan suara hakim MK yang kini telah menyadari dan ingin mengembalikan marwah MK sesuai spirit dan cita-cita mendirikannya. Lalu, keluarkan putusan yang mampu memberikan solusi konstruktif yang berkeadilan dalam mengarungi pilpres 2024 ini. Pilpres ulang tanpa kesertaan paslon 02 merupakan opsi amar putusan ideal. Sesuai kaidah keadilan. Ketidaksertaan 02 dalam pilpres ulang merupakan konsekuensi hukum yang harus diindahkan.
Ketika konstruksi hukum politik itu terhadirkan, insya Allah, akan terjadi cahaya baru di tanah air ini. Tentu, karena akan terjadi proses pilpres yang memenuhi unsur jelas: jujur, bebas, rahasia dan transparan. Mekanisme politik penyelenggaraan pemilu seperti ini – insya Allah – juga akan mencegah terjadinya prahara nasional.
Tasikmalaya, 14 April 2024
Penulis: analis politik*