Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Istana “all out” untuk memenangkan pilkada tahun depan. Strateginya: kuasai Jawa, Indonesia akan ada di genggaman tangan. Jokowi bernafsu membidik suara di Jawa. Mengapa? Karena jawa adalah taruhan nasibnya di pilpres 2019.
Kekalahan Jokowi-PDIP di pilgub Banten dan DKI memaksa istana harus mengkompensasinya dengan kemenangan di Jawa. Jika kalah, nasib Jokowi hampir pasti kiamat dan tamat.
Dimulai Jawa Timur. Semula Jokowi-Cak Imin deal mengusung Syaefullah Yusuf, putra NU darah biru. Maharnya? PKB akan usung Jokowi di pilpres 2019. Belakangan, Jokowi menarik dukungan. Jokowi lebih sreg dengan Khofifah Indra Parawansa. Apa pasal? Pertama, adanya asumsi: kalkulasi suara dan situasi politik Jawa Timur memberi sinyal kuat ke Khofifah. Ketua Muslimat NU yang selama dua periode menjadi oposisi Pemprov Jatim, dianggap lebih potensial menang dibanding Gus Ipul.
Kedua, Khofifah nurut. Siap masuk barisan “yes sir”. Mensos ini lebih mudah ditaklukkan dibanding Cak Imin. Belajar dari koalisi Cak Imin-Haji Roma dan Cak Imin-Mahfudz MD di 2014, bersekutu dengan Cak Imin seperti memelihara singa. Jinak, tapi jika kecewa dan ada kesempatan, serangan balik bisa tiba-tiba dan tidak terduga. Jokowi tipe penguasa yang sangat detil dalam menghitung resiko.
Cak Imin kecewa dan marah. Kedekatan Cak Imin dengan AHY, putra mahkota SBY dan manuver spanduk “H. Muhaimin Iskandar Cawapres 2019”, selain ikhtiar branding, boleh jadi adalah sebuah sinyal perlawanan. Upaya Cak Imin mendekati ketua GNPF Ulama, Bachtiar Nasir, bisa diartikan sebagai bentuk kesiagaan Cak Imin pisah sekutu dengan istana.
Selain Jawa Timur, Jokowi memainkan peran massifnya di Jawa Barat. Ridwan Kamil dipasang, dan semua partai, minus PKS, Gerindra dan PAN diminta mendukungnya. PDIP ogah karena alasan hukum dan konon juga karena “miris” terhadap masalah norma dan moral. Belakangan, Golkar menarik dukungan dari RK. Alasannya klise: tidak dapat jatah cawapres. Kabarnya akan diikuti PPP dan PKB dengan alasan yang sama.
Tiga partai koalisi istana kompak berencana meninggalkan RK yang sedang top angka elektabilitasnya. Rasio politiknya susah dimengerti kecuali jika itu atas instruksi istana.
Koalisi istana di Jabar cerai berai. Tersisa dua kandidat potensial, Dedy Mizwar dan Dedi Mulyadi. Dibanding Demul, Dedy Mizwar lebih menjanjikan karena unggul di popularitas dan elektabilitas. Dedy Mizwar juga dekat dengan- dan bisa diterima oleh- kalangan umat Islam yang anti Jokowi.
Memasang Dedy Mizwar lebih strategis untuk memenangkan pertempuran politik 2018 di Jabar. Apalagi, Demiz adalah tokoh yang dekat dan nurut dengan istana. Persoalan muncul ketika kedekatan ini dicium baunya oleh umat Islam kubu ABJ (Asal Bukan Jokowi). Faktor inilah yang mendorong PKS dan PAN sepakat menarik dukungan dari Demiz atas desakan kelompok ABJ. Perselingkuhan Demiz dengan Jokowi membuat kalangan Islam ABJ kecewa dan marah. Apalagi setelah terbongkar pakta integritas Demiz yang akan memenangkan Demokrat di Jabar dan calon Demokrat di pilpres 2019. Bagi PKS dan PAN, ini masuk kategori perselingkuhan serius.
Jika Demiz-Demul akhirnya diinstruksikan istana diusung partai koalisi penguasa untuk melawan PKS, PAN dan Gerindra, maka perseteruan 212 vs istana, oposisi vs penguasa akan terulang. Ini akan sangat seru. Karena menjadi babak kedua setelah pilgub DKI. Pertarungan ini akan benar-benar manjadi pemanasan yang sesungguhnya sebelum pilpres 2019. Dua kelompok yang selama ini saling merawat posisi berseberangan.
Dua kasus berkaitan dengan pola koalisi di Jawa Timur dan Jawa Barat menunjukkan situasi kegamangan istana. Strateginya kehilangan fokus dan terkesan serampangan. Dalam shaolin, ini masuk kategori “jurus mabuk”. Polanya berubah-ubah dan tidak konsisten.
Situasi ini bisa dimengerti karena pertama, pilihan berbasis kandidat yang dilakukan istana. Ini tidak aman dan rentan perubahan. Elektabilitas kandidat fluktuatif, kecuali kandidat yang kuat dalam suara dan dukungan partai. Semua kandidat di Jawa Timur dan Jawa Barat berimbang. Mereka rentan jatuh dan terpuruk. Apalagi jika sang kandidat punya kasus hukum dan ada masalah moral. Faktor kandidat membuat istana selalu berada dalam keraguan.
Kedua istana sedang dalam keadaan galau. Partai koalisi, terutama PAN dan PKB, sudah mulai bermanuver. Golkar, sekarang memang dalam kendali istana setelah Airlangga Hartarto ditetapkan jadi ketua umum pengganti Setnov. Tapi tak berarti ada jaminan langgeng hingga 2019. Jusuf Kalla, Abu Rizal Bakri, Akbar Tanjung dan para politisi senior Golkar adalah para politisi gaek yang tidak mudah menyerah. Kalau saja Golkar harus mendukung Jokowi di pilpres 2019, negonya pasti tidak kecil. Apalagi melihat pisisi Jokowi.yang sangat tergantung terhadap Golkar untuk menghindari tekanan PDIP.
Dalam situasi galau, keputusan bisa tergesa-gesa dan mudah dianulir. Inilah yang sekarang terjadi di Jawa Timur dan Jawa Barat terkait dengan nama kandidat yang dijagokan istana.
Berbeda nasibnya jika Jokowi legowo berkoalisi dengan PDIP. Posisi Jokowi akan menguat, tapi syarat mutlaknya harus rela menjadi petugas partai dan diatur ketua umum. Kapolri, ketua BIN, personal di kabinet akan sulit dibentuk kecuali atas restu dari ketua umum partai. Yang jelas, cawapres adalah orangnya ketua umum: satu diantara dua nama yaitu Puan Maharani atau Budi Gunawan kabarnya sudah digadang-gadang. Begitu juga jabatan-jabatan strategis lainnya. Disisi lain, lingkaran Jokowi, terutama dibawah komando Luhut Binsar Panjaitan, tak akan rela jika pengaruh PDIP masuk istana.
Kalau bersama Golkar Jokowi bisa bernego kira-kira dengan angka 30-40%, maka dengan PDIP angkanya bisa naik tajam menjadi 80-90%. Lagi-lagi ini perkiraan. Inilah faktor dan alasan mengapa Jokowi sekuat tenaga menghindari PDIP. Jokowi lalu mendekati Golkar dan membentuk koalisi baru. Yang jelas, Jokowi trauma dengan sejumlah kasus yang terjadi sebelumnya.
Rumor viralnya penolakan kalangan umat Islam terhadap PDIP di Madura, Riau, Sumut, Aceh dan berbagai wilayah lainnya akan sangat potensial menggandakan semangat Anti Jokowi. Gejala ini akan membuat istana semakin miris.
Ketiga, partai dan massa oposisi menjadi ancaman nyata. Gerilya massa “Asal Bukan Jokowi” atau “ABJ” terus terkonsolidasi. Semua tokoh yang ditempeli nama Jokowi “terdowngreat” oleh massa ABJ ini. Menag Lukman Hakim dalam peristiwa Monas adalah contoh terbaru. Sebelumnya ada Jendral Gatot Nurmantiyo, susah bangun pasca pernyataan dukungannya kepada Jokowi dua periode. Demiz ditinggalkan koalisi PKS, PAN dan Gerindra juga setelah ketahuan sebagai agen istana.
Sebaliknya, siapapun nama kandidat yang didukung kelompok ABJ cepat menguat. MayJen (purn TNI) Sudrajat dan Ahmad Syaikhu cepat populer. Sebelumnya publik tidak mengenal identitas dan sosok kedua tokoh ini. Para ulama dan kelompok Islam ABJ gigih menviralkan mereka dan bergerilya menciptakan dukungan massa. Kerja mereka efektif. Jaringan GNPF ulama pun ikut bekerja dengan cepat. Semangat mereka satu: “Asal Bukan Jokowi”.
Gejala ini menunjukkan bahwa upaya komunikasi yang dibangun istana terhadap kelompok Islam ABJ selama ini gagal. Malah sebaliknya, makin menguatkan perlawanan. Mengapa gagal? Karena istana lebih suka menggunakan strategi memukul, bulan merangkul.
Sejumlah kasus sweeping pengajian, mulai dari Felix Siau, Bachtiar Nasir, Gus Nur hingga yang paling akhir adalah Ustaz Abdussomad, diasumsukan oleh kelompok Islam ABJ sebagai bagian dari tindakan anarkisme yang didalangi penguasa.
Situasi sosial dan politik di atas telah menyulitkan istana untuk membangun strategi kemenangan yang mulus di pilkada, khususnya Jawa. Inilah yang membuat istana seringkali kebingungan. Sehingga jurus politik yang keluar seringkali mirip “jurus mabuk”
Jakarta, 30/12/2017