Di hadapan mahasiswa kampus putih UMM, 13 Juni 2017, Jokowi membicarakan desas desus kebangkitan PKI: Partai Komunis Indonesia. Isu kebangkitan komunis itu pun mememantik tanya bekas wali kota Solo.
Dilansir Detik, ia berujar, “Pertanyaannya, di mana? Di mana? Karena jelas, di konstitusi kita jelas, ada TAP MPR bahwa komunisme dilarang di negara kita Indonesia,” tegas Jokowi.
“Jadi, kalau bisa tunjukkan pada kita, tunjukkan pada saya, saya akan gebuk detik itu juga!” tambah Jokowi, 13/6/2017.
Janji Jokowi yang bakal menggebuk PKI tercatat di media dan benak anak-anak bangsa. Tapi, publik juga khawatir janjinya seperti janji-janji lain.
September meroket, ternyata melempem. Rupiah menguat di kisaran Rp 10 ribu, ternyata loyo. Bahkan, dalam rincian asumsi makro RAPBN 2018 nilai tukar rupiah hanya berani dipatok di kisaran Rp 13.300- 13.500 per dolar. Jauh dari angka Rp 10 ribu yang digaung-gaungkan.
Swasembada pangan, malah impor. Pertumbuhan ekonomi, tapi PHK dimana-mana. Kesejahteraan, justru kemiskinan meningkat. Pajak mencekik sukses mencipta bising jerit rakyat.
Penarikan subsidi, pajak mencekik, dana haji dan lainnya yang diklaim untuk infrastruktur, tetapi beberapa proyek usai groundbreaking malah mangkrak. Utang beranak pinak.
Sekarang rakyat pun mengganti istilah subsidi dengan menambah beban hidup rakyat. Sebab pada dasarnya kita tak pernah tahu, subsidi itu seperti apa, ada atau tidak pernah ada. Beban rakyat ditambah pula kemandulan hukum yang makin terasa.
Semisal Iwan Bopeng yang berani mengancam TNI dengan ancaman mengerikan laiknya komunis, tak jua tersua proses hukumnya. Pun pelbagai janji kampanye lain yang cenderung berkebalikan dengan kenyataan.
Lantas, apa betul janji gebuk komunis bakal dilakukan atau seperti sekadar janji-janji lainnya?
Komunis yang membantai para ulama, santri, masyarakat, dan singkatnya musuh besar bagi umat Muslim dan TNI, dinilai kian terasa kembali bangkit.
Bahkan, tahun 2010 digelar Kongres X Neo Komunis. Selepas 2014, begitu mudah kita menemui simbol-simbol palu arit di jalan raya.
Contohnya, orang yang menggunakan kaos palu arit, coretan dinding, sampai munculnya atribut PKI dalam karnaval menyambut HUT Ke-70 Kemerdekaan RI yang digelar Pemkab Pamekasan, Agustus 2015.
Di jejaring sosial media, grup-grup PKI pun mencuat bak jamur di musim penghujan. Tahun 2016, kian berani tampil ke permukaan wacana pencabutan TAP MPR yang melarang komunis di Indonesia.
Di tahun sama muncul pula desakan agar Jokowi meminta maaf pada PKI. Untung saja tak dilakukan.
Tapi di awal tahun 2017, Sastrawan terkemuka Taufik Ismail, memberi kabar getir bagi bangsa ini: tahun ketiga Jokowi mirip kebangkitan PKI.
Media pun ramai mengingatkan. Tapi, apakah pendukung PKI ada yang digebuk, seperti janji Jokowi?
Sebaliknya, justru ketika ada penulis buku yang menuding Jokowi berkelindan dengan lingkar komunis dan meminta test DNA, bukan disikapi tandingan buku lain.
Melainkan sang penulis itu langsung diganjar hukuman dengan vonis tiga tahun penjara. Buku Jokowi Undercover, itu pun dilarang beredar.
Di bulan Agustus 2017, Jokowi justru menyiapkan karpet merah bagi Sekjen Partai Komunis Vietnam. Selanjutnya, bisa ditebak: kegaduhan rutin di tiap September via isu PKI dibuat bising lagi.
Kali ini, malah terang-terangan bermunculan sosok yang terindikasi pro komunis. Sampai-sampai soal pemutaran film G30S/ PKI digaduhkan pula. Dari kualitas hingga rokok.
Tapi, namanya era digital. Boleh saja film itu dituding tak akurat lantaran DN Aidit, pentolan PKI dianggap tidak merokok.
Selang hitungan jam dari klaim anak Aidit jika ayahnya tak merokok, ramai-ramai publik mengabarkan foto DN Aidit merokok. Media Tempo sebelumnya juga mengabarkan: Sebelum dieksekusi, DN Aidit meminta rokok pada eksekutor.
Hanya hitungan sekejap, runtuhlah tudingan yang menyebut film G30S/ PKI tidak akurat. Runtuhlah klaim anak dari pentolan PKI, itu. Di titik ini, makin muaklah publik terhadap PKI. Bahkan, bagi generasi mileneal yang belum paham ideologi komunis.
Sayang, film fenomenal karya sutradara ternama yang dulu kemunculannya selalu dinanti saban tahun di TVRI, dihentikan sejak 1998. Persis di tahun reformasi.
Sejak itu pula, UUD 1945 diamandemen. Korupsi berjamaah tak malu-malu lagi menampakan wajahnya. Bahkan sempat muncul kasus pasal UU yang mau dikorupsi.
Sejak reformasi pula, makin marak kasus korupsi besar: BLBI, Century, rekening gendut polisi, reklamasi, sumber waras, dan seabreg kasus korupsi besar yang tak pernah tuntas.
Paska reformasi juga sila keempat Pancasila, dinafikan dengan perhelatan pilkada yang membelah anak-anak bangsa. Walau sempat ada drama politik KMP – KIH yang ingin mengembalikan pemilihan tak langsung, tapi SBY mengeluarkan Perppu.
Di tahun 2008 kurikulum PMP, PSPB dan sejarah bangsa dihapuskan. Dan kita paham, itu di era siapa. Selanjutnya anak-anak bangsa gagap sejarah. Termasuk sejarah kekejaman dan pola poli PKI.
Tak heran, kini upaya-upaya pemutar balikan fakta digencarkan. PKI berdalih menjadi korban. Tentu saja, bagi kaum milenial atau mereka yang tak memiliki keluarga atau leluhur yang dibantai keji oleh komunis bakal bisa saja percaya pemutar balikan fakta.
Melalui ragam kanal informasi, komunis seakan greget ingin mencuci otak bangsa ini bahwa: seolah mereka korban. Sampai-sampai film G30S/ PKI dinilai sebagai sampah. Bagaimana mungkin tak naif, dua kali melakukan upaya pemberontakan tapi mengaku-aku sebagai korban. Film sejarah G30S/ PKI pun dibusukan.
Tapi alih-alih mampu membuat film yang sama. Untuk menulis naskahnya saja, sang penuding film sampah belum tentu bisa. Dan akhirnya film yang dulu dinanti-nanti seisi bangsa, kini mengundang kontroversi ketika ingin diputar kembali.
Luar biasa bukan dampak reformasi? Seluar biasa kejahatan finansial masa lalu dan penuntasan masalah 97 yang sampai sekarang belum diselesaikan.
Rakyat menjadi sasaran pajak mencekik. Sampai e-money dipaksakan. Dikenai tarif top up pula. Uangnya ada, uangnya ada, mana buktinya?
Justru menurut data Kemenkeu (2017), utang pemerintah tercatat mencapai Rp 3.780 triliun. Indonesia pun dibayangi jatuh tempo utang yang super jumbo sebesar Rp 810 triliun.
Jatuh tempo utang tahun 2018 sebesar Rp 390 triliun dan tahun 2019 utang yang harus dibayar sekitar Rp 420 triliun.
Apa karena itu rakyat dibebani pajak dan ragam kebijakan memberatkan? Atau karena gencarnya audit finansial global dari justice international yang membuat kondisi makin kepepet? Sampai isu-isu usang digaduhkan, pendukung PKI diberi panggung dan ruang.
Keturunan dan pendukung komunis pun bermunculan. Terang-terangan. Dengan demikian, kapan janji gebuk PKI direalisasikan? Sekadar janji lagi, tanpa bukti?
Tak bisa kah seperti Presiden Filiphina Duterte, yang senyap. Tapi tiba-tiba tentaranya langsung menewaskan sembilan orang komunis dalam baku tembak selama dua jam, beberapa hari lalu. Senyap seperti tuyul, tapi langsung memberi bukti. Tak berisik woro-woro ke sana kemari, namun hanya janji.
Kini, dengan janji gebuk PKI yang tanpa bukti, pemutarbalikan fakta PKI sebagai korban, bahkan tak meminta maaf pada sesisi bangsa: justru membuka lagi luka lama masyarakat Indonesia, khususnya bagi keluarga korban kebiadaban PKI.
Rekonsilasi sulit sekali rasanya jika tetap menebar dusta demi dusta. Memaksa mengelabui sejarah, bahkan memutar balikannya. Publik pun mendesak agar pemerintah lebih serius menangkal benih-benih komunis di perut Ibu Pertiwi.
Namun, semua pihak tetap harus melepaskan dendam demi mengembalikan peradaban tepo seliro dan jati diri bangsa yang lama menghilang.
Selamat Tahun Baru 1439 H. Semoga kita mampu hijrah dari ragam kedustaan dan perpecahan menuju alam kejujuran serta kelembutan. Berpindah dari kebusukan siasat menuju peradaban yang mengundang langit mencurahkan rahmat.
“Ketika kejujuran tak lagi menjadi panglima kehidupan, bersiaplah menanti kehancuran,” begitu pesan sesepuh pengasuh Pesantren Buntet Cirebon, KH Ayyip Abdullah Abbas, mengingatkan seluruh elemen bangsa.
Damai selalu Indonesia Raya. Di tahun baru ini kita rajut lagi persatuan anak-anak bangsa yang makin porak poranda. Jangan mau lagi dipolarisasi, terlebih sekadar pilihan politik.
Shalaallahu alaa Muhammad.
*) Pemerhati masalah sosial
sumber republika