Oleh: M Rizal Fadillah*
Tentu pemberontakan yang dimaksud adalah konstitusional. Berbasis pada jaminan hak asasi manusia untuk menyampaikan pendapat melalui berbagai upaya termasuk aksi-aksi unjuk rasa. Mengingatkan peristiwa tahun 1998 dimana gerakan rakyat mengganti atau menumbangkan rezim yang dinilai otoriter dan menginjak-injak asas kedaulatan rakyat. Seorang aktivis menulis buku berjudul “Indonesia Dibawah Sepatu Lars”.
Kondisi kini tidak jauh berbeda, di samping KKN merajalela melebihi masa Orde Baru, juga Presiden begitu dominan atau mengatur segalanya. Merekayasa dan menunggangi hukum. Menunggingi etika dan moral serta membangun politik dinasti secara terang-terangan. Gaya hidup mewah kaum elit berbanding terbalik dengan kaum alit yang terpaksa antri beras di tengah janji makan siang gratis.
Makan siang gratis ? Omon-omon tidak logis. Mulai berkilah bahwa itu bertahap dan baru mencapai target 2029, lalu untuk anak-anak, lalu terluar, terdepan, tertinggal. Lho, tidak diomongkan saat kampanye yang begitu. Rakyat percaya akan dapat makan siang gratis semua, bukan bersyarat. Ciri munafik memang tiga, yaitu omong kosong, janji bohong dan amanah masuk gorong-gorong.
Pemilu khususnya Pilpres menjadi bagian dari rekayasa. Sejak 2019 ditengarai curang. Pada Pilpres itu Prabowo adalah korban sedangkan 2024 Prabowo justru yang menciptakan korban. Lucu negeri ini, kemarin mantan pesaing jadi pembantu kini pembantu harus menggendong anak. Negeri Konoha namanya, Gibran itu Boruto, Prabowo Sasuke dan Jokowi Naruto Uzumaki. Begitu serial anime Naruto Shippuden. Seri Naruto tamat, mungkin Prabowo mulai. Itu jika tidak didiskualifikasi.
Rakyat mungkin berontak atas kondisi tidak nyaman. Sebagai warga negara mestinya disejahterakan bukan dicekoki sembako atau berbagai bantuan sesaat. Apalagi harga-harga semakin meningkat. Jokowi harus bertanggung jawab atas dua anak yang tenggelam karena si ibu terpaksa ikut antri beras. Beban rumah tangga memang berat, sementara pejabat dan aparat sedang senang-senang berjoget bersama konglomerat.
Sebelum Pilpres banyak yang memberi “warning” agar berjalan jujur dan adil. Slogan “curang perang”, bergaung. Ternyata benar bahwa Pilpres berlangsung curang baik soal coblos mencoblos maupun penghitungan. Ada 54 juta DPT misterius. Server Alibaba Cloud di Singapura tidak terbantahkan meski dicoba diam-diam dipindah. Sirekap menjadi penyekap suara. Gerbang dari kejahatan otak-atik angka.
Rakyat yang selama ini dianggap “tak berotak” akan mampu menunjukkan “sangat berotak” bahkan “berotot”. Tidak bisa diam untuk mengikuti dan menerima kejahatan penguasa. Mereka akan berontak melalui koridor yang diketahui dan diyakininya. Pemberontakan rakyat dalam kesejarahannya mengambil momen saat penguasa sudah bertindak melampau batas. Pemilu curang berarti perang.
Curang kini sudah, namun perang yang belum. Tiga dimensi perang yakni pertama, perang hukum yakni perang di ranah hukum seperti peradilan MK atau pidana Pemilu melalui Gakumdu Bawaslu. Kedua, perang politik melalui penggunaan Hak Angket atau hak DPR lainnya. Ketiga, perang aksi massa yaitu demonstrasi. Unjuk rasa besar-besaran.
Peperangan rakyat semesta bisa bergerak simultan dalam tiga dimensi tersebut. Mungkin rezim apa pun bisa berbuat tipu-tipu untuk satu saat tetapi tidak untuk selamanya. Ada saatnya rakyat berontak.
Bolehlah para dukun cendekiawan menyatakan bahwa kecurangan tidak dapat membatalkan hasil Pilpres, tetapi para dukun itu lupa bahwa kecurangan dapat mengundang kemarahan dan pemberontakan rakyat atau people insurrection !
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 26 Februari 2024