Oleh : @NR
(Sekedar coretan mengenang Sang Guru Para Murabbi, KH Hilmi Aminuddin, Allahu yarham)
Kematian menjadi perhatian khusus kalangan para ulama. Mereka banyak menuliskannya dalam kitab. Syaikh Imam Ghazali di dalam kitab ‘Ihya Ulumuddin’ membuat satu bab khusus yang panjang tentang itu. Al Imam Ibnul Qayyim Al Jauzi menulis soal perjalanan ruh sesudah kematiannya dalam kitab ‘Ar Ruh’. Imam Al Qurthubi menulis nasehat tentang kematian dalam kitab ‘Adz Tadzkirah’. Imam Ibnu Abid Dunya menggambarkan kisah orang-orang yang hidup kembali setelah mengalami kematian dalam kitabnya ‘Man Sya-a Ba’dal Maut. Di Indonesia ada almarhum Al Ustadz Bey Arifin yang menulis buku ‘Hidup Sesudah Mati’.
Al Qur’an menyebut 4 kata untuk menggambarkan hakikat kematian:
Pertama, disebut dengan kata ‘maut’ dalam bentuk kata benda sebanyak 35 kali. Sementara jamaknya ‘amwat’ sebanyak 6 kali. Kata ini bermakna lepasnya ruh dari badan yang menjadikannya tidak berdaya dan hancur-lebur menjadi tanah: “Darinya (tanah) itulah Kami menciptakan kamu dan kepadanyalah Kami akan mengembalikan kamu, dan dari sanalah Kami akan mengeluarkan kamu pada waktu yang lain.” (20: 55)
Kedua, disebut dengan kata ‘ajal’ sebanyak 21 kali yang artinya batas akhir hidup di dunia. Manusia hakikatnya adalah musafir yang berjalan di atas punggung umurnya, menuju batas akhir perjalanan dunianya. Seiring waktu berjalan umur bertambah sedangkan ajal tidak: “Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sedikitpun juga” (7: 34)
Ketiga, disebut dengan kata ‘rujuk’ sebanyak 4 kali dalam bentuk subyek yang maknanya kembali atau pulang. Dikenal dengan istilah istirja’ yakni kembali kepada Allah SWT : “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un” (2:155-156)
Keempat, dalam bentuk kata ‘wafat’ sebanyak 19 kali yang maknanya adalah membayar secara tunai. Orang meninggal dinamakan wafat karena ia telah menunaikan hidupnya di dunia ini: “Dan mereka berkata, “Apakah apabila kami telah lenyap (hancur) di dalam tanah, kami akan berada dalam ciptaan yang baru?” Bahkan mereka mengingkari pertemuan dengan Tuhannya. Katakanlah, “Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mewafatkanmu, kemudian kepada Tuhanmu, kamu akan dikembalikan.” (32: 10-11)
Mati sama pentingnya dengan hidup. Keduanya harus dipahami sama adanya. Bila tidak seimbang menyebabkan manusia menjadi kufur dan sesat dan tidak percaya kepada kehidupan setelah mati: “Dan tentu mereka akan mengatakan, “Hidup hanyalah di dunia ini, dan kita tidak akan dibangkitkan.” (6: 29)
Namun manusia lebih suka berbicara masalah hidup dan kehidupan ketimbang bicara masalah mati dan kematian. Ia pandai dalam urusan apapun terkait dengan kehidupan dunianya, namun banyak yang lalai dan bodoh soal kematian dan kehidupan akhiratnya: “Mereka mengetahui yang lahir (tampak) dari kehidupan dunia; sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai.” (30:7)
Di satu sisi juga Allah menganugerahkan manusia sifat marah dan benci sebagai potensi dasar untuk mempertahankan eksisitensi hidupnya. Namun hal ini tidak boleh menyebabkan kelalaian terhadap ajaran Rabbnya. Paham materialisme yang sekarang menjadi gejala umum kehidupan itu merujuk pada hilangnya keyakinan adanya kehidupan setelah kematian. Bagi paham ini hidup dan mati itu hanyalah masalah waktu. Waktulah yang menentukannya. Saat hidup ya hiduplah. Saat mati ya matilah. Setelah itu selesai tidak ada kebangkitan dan pengembalian. Al Qur’an menyebutnya sebagai pemahaman kelompok ‘ad dahriyyun’ yang mengacu pada kata ‘ad dahru’; yang artinya masa atau waktu: “Dan mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” Tetapi mereka tidak mempunyai ilmu tentang itu, mereka hanyalah menduga-duga saja.
Sebagian dari mereka bahkan sejak awal telah menolak keberadaan Sang Pencipta (atheis) dan percaya bahwa setiap tiga puluh enam ribu tahun sekali segala sesuatu akan dikembalikan kepada bentuk asalnya (reinkarnasi) yang berulang terus-menerus tanpa memiliki batas akhir. Akibatnya banyak yang terjerumus pada gaya hidup materisme dan hedonisme: “Qaf. Demi Al-Qur’an yang mulia. (Mereka tidak menerimanya) bahkan mereka tercengang karena telah datang kepada mereka seorang pemberi peringatan dari (kalangan) mereka sendiri, maka berkatalah orang-orang kafir, “Ini adalah suatu yang sangat ajaib.” Apakah apabila kami telah mati dan sudah menjadi tanah (akan kembali lagi)? Itu adalah suatu pengembalian yang tidak mungkin.” (50:1-3)
Menjawab atas adanya pemikiran seperti ini Allah jawab: “Maka apakah kamu mengira, bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?’ (23: 115)
Manusia itu mengalami dua kali kematian dan kehidupan. Kematian pertama saat Allah belum menghembuskan nyawa ke dalam jasadnya. Yang kedua saat nyawa tersebut diambil kembali dari jasadnya untuk selamanya. Begitu juga dengan hidup, pertama di dunia yang diawali pada saat ruh dimasukkan ke dalam badannya dan yang kedua saat ia dibangkitkan kembali di hari kiamat: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir (pada hari Kiamat), kepada mereka diserukan, “Sungguh, kebencian Allah (kepadamu) jauh lebih besar daripada kebencianmu kepada dirimu sendiri, ketika kamu diseru untuk beriman lalu kamu mengingkarinya.” Mereka menjawab, “Ya Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami mengakui dosa-dosa kami. Maka adakah jalan (bagi kami) untuk keluar (dari neraka)?” (40:10-11)
Kematian adalah misteri karena tidak seorangpun yang mengetahui kapan terjadinya. Kemanapun manusia pergi ia selalu membayangi. Pada waktunya ia akan datang tanpa bersalam dan berkalam hingga seakan tiba-tiba saja dan mendadak padahal ia hanyalah sekedar mengikuti jadwal yang telah ditetapkan Rabbnya. Inilah yang menyebabkan penyesalan: “Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata (menyesali), “Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang saleh.” (63:10)
Kematian hakikatnya adalah penyempurna atas kehidupan. Penyempurna atas semua kekurangan yang ada di dunia ini. Ketika masa muda berganti menjadi tua, ketika para orang tua banyak yang tiada, ketika keindahan rupa menjadi pudar, ketika kecantikan tersisa garis-garisnya saja, ketika kekuatan sudah hilang, ketika kesuksesan hanyalah kenangan, ketika kejayaan hanyalah sejarah, ketika semua yang diupayakan dengan susah payah akhirnya sirna, ketika semua kemewahan, otoritas dan privilege harus ditinggakan, ketika semuanya hanya tinggal bayang-bayang yang semakin jauh dan samar, hanya tinggal catatan, apakah ini yang namanya kesempurnaan???: “Dialah yang menciptakanmu dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu dari segumpal darah, kemudian kamu dilahirkan sebagai seorang anak, kemudian dibiarkan kamu sampai dewasa, lalu menjadi tua. Tetapi di antara kamu ada yang dimatikan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) agar kamu sampai kepada kurun waktu yang ditentukan, agar kamu mengerti.” (40:67)
Imam Syafii rahimahuLlahu mengatakan: “Tak ada kesedihan yang kekal, tak ada pula kebahagiaan yang abadi, kesengsaraan tidak selamanya, demikian juga kesenangan”
Kesempunaan adalah sesuatu yang diinginkan manusia agar tetap hadir, ajeg dan tidak berubah. Ia adalah obsesi. Kesempurnaan adalah keabadian. Namun adakah itu di dunia ini? Tentulah tidak. Karenanya kehidupan kedua di negeri akhirat itu adalah sesuatu yang aksiomatis. Allah SWT merangkai kematian dengan kehidupan dalam konteks kesempurnaan ini. Kematian selalu bergandengan tangan dengan kehidupan bak sepasang sejoli yang tidak terpisahkan. Allah SWT menyebutnya sebanyak 20 kali di dalam kitab-Nya : “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (3:185)
Sebagai gerbang kesempunaan, kematian haruslah dibangun dari awalnya dengan sebaik-baiknya. Seni kematian harus diukir semasa hidup. Kesadaran indahnya kematian dan keinginan segera berjumpa dengan Dzat Yang Maha Sempurna haruslah menjadi obsesi dari semua obsesi. Ia adalah cita-cita tertinggi yang tertancap kuat dan kokoh di alam jiwa yang paling dalam. Terlantun dalam doa yang tidak pernah putus. Kematian adalah hadiah yang menghantarkan seorang hamba menuju kesempurnaannya nan abadi: ”Al mautu tuhfatul mukmin, kematian adalah hadiah bagi orang beriman” (Thabrani dan Al Hakim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Setiap manusia pergi menemui kematian dengan jalan kehidupan, kecuali Mujahidin yang pergi mencari kehidupan dengan menempuh jalan kematian”
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (kenikmatan melihat Allah). Dan wajah mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) dalam kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya” (10:26)
Selamat menyongsong hadiah terbaik dan kesempurnaan abadi wahai Sang Guru Para Murabbi (@NR)