Oleh: M. Rizal Fadillah*
Berita media tentang pernyataan atau deklarasi pisah NKRI dari kelompok “Aceh. Maluku dan Papua” mungkin dinilai kecil saja. akan tetapi jika terus digaungkan tentu berdampak juga. Pasca pembacaan hasil sidang MK yang “memenangkan” Pasangan Prabowo-Gibran reaksi bermunculan termasuk viral berita di atas. Momentum dinilai pas bagi isu politik pemisahan. Prabowo Gibran sendiri dinilai Jawa sentris.
Aspek kesukuan hanya satu faktor, akan tetapi banyak faktor yang potensial bagi retaknya konsepsi dan komitmen NKRI. Sebagai kelanjutan bahkan kepanjangan tangan Jokowi sulit Prabowo lepas dari rangkulan China. Panggilan Xi Jinping ke Beijing baru-baru ini menjadi jaminan bahwa Prabowo secara langsung atau tidak telah siap bersama China. IKN salah satu konsensinya.
Orang pun mulai nyeletuk soal hubungan darah Prabowo dengan etnis China. Ini melanjutkan pertanyaan keeratan Jokowi dengan China dari aspek geneologis. Persoalan “nyeletuk” dan “pertanyaan” menjadi hal wajar saja di tengah dominasi etnis China dalam bidang ekonomi dan terpinggirkannya pribumi dalam bidang ekonomi, bahkan politik.
Tapi itu kita abaikan, yang perlu perhatian kita adalah bahwa keterpilihan Prabowo Gibran nyatanya tidak memiliki daya rekat atau kekokohan untuk integrasi negeri. Pemenuhan persyaratan Gibran tetap menjadi kasus yang berkelanjutan. Etika, moral dan hukum telah tercatat dalam sejarah Indonesia faktual tidak dapat dipadukan. Dan itu terjadi di era Jokowi untuk skandal sang putera Gibran.
Prabowo tetap diberi label “penculik” dan “pelanggar HAM” untuk kasus 1998 serta “penjilat” dalam relasi dengan Jokowi. Prabowo berhutang budi kepada China karenanya perlu dilakukan “baiat” sebelum dimenangkan oleh MK atas putusan KPU. Jiping meminta Prabowo menghadap ke Beijing ketika gugatan Anies dan Ganjar masih dalam pemeriksaan MK.
58 persen kemenangan Prabowo-Gibran tentu diragukan keabsahannya. MK mengabaikan pengaruh bansos, cawe-cawe Jokowi, rekayasa Sirekap dan permainan “hukum” persyaratan Gibran. Ironi MK justru melegitimasi dugaan kecurangan.
PDIP masih melakukan perlawanan dengan mengajukan Gugatan melalui PTUN yang diagendakan pemeriksaan awal 2 Mei 2024.
Berbasis berita media tidak mudah Prabowo Gibran untuk diterima publik. Guncangan kepada Anies menjadi guncangan bagi pendukung Anies. Pertempuran memang selesai tetapi peperangan belum.
Kasus penerimaan MK masih gonjang ganjing. Suhartoyo Ketua MK babak belur dibongkar “penyakit”nya. Ada sandera yang membuat ia terpaksa berkhianat pada etika, moral dan hukum.
Prabowo Gibran akan menjadi Presiden dan Wakil Presiden kontroversial bahkan pembawa sial. Tidak memiliki reputasi bagus. Prabowo dikenal “pengkhianat” setelah ikut kabinet Jokowi. Sementara Gibran adalah “katrolan” sang bapak dan berputar di pusaran kejahatan nepotisme. Perlawanan rakyat akan berlanjut atas “kemenangan palsu” dari pasangan haram ini.
Perlawanan atas perilaku politik Jokowi sejak awal hingga akhir masa jabatan diteruskan pada Prabowo-Gibran. Tempelan anak atas rezim justru akan menjadi penyebab dari peperangan yang semakin dahsyat. Pemerintahan Prabowo-Gibran akan sulit membangun stabilitas.
Hak Angket boleh tersendat bahkan mungkin batal tetapi Hak Rakyat untuk merdeka, bebas, berdaulat serta mendapat perlakuan yang adil tidak dapat dipaksa dan diperkosa oleh rekayasa penguasa.
Kemenangan sesat (heretical victory) bisa terjadi kapan saja, tetapi kemenangan yang menipu dipastikan hanya berupa kemenangan sesaat (momentary victory).
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 25 April 2024