Oleh: Marwan Batubara, Petisi 100
Sesusai keputusan musyawarah Majelis Syura VIII, pada 23 Februari 2024 PKS resmi mendeklarasikan dukungan pada Anies Rasyid Baswedan (ARB) sebagai bakal calon presiden yang akan didukung di Pilpres 2024. Konsisten dengan sikap saat pilpres, pada 25 Juni 2024, Dewan Pimpinan Tingkat Pusat (DPTP) PKS resmi mengusung ARB dan Mohamad Sohibul Iman (MSI) menjadi pasangan paslon cagub dan cawgub Pilkada Jakarta 2024.
Setelah menunggu lebih sebulan, ternyata pasangan ARB-MSI batal dicalonkan. Sebab PKS yang punya 18 kursi DPRD DKI gagal memperoleh dukungan partai lain agar memenuhi syarat pencalonan minimal 22 kursi. Karena itu, pada 19 Agustus 2024, PKS bergabung ke KIM Plus dan mendeklarasikan paslon cagub dan cawagub baru, yakni Ridwan Kamil dan Suswono (RK-SO). Ada 12 partai yang mengusung RK-SO, yakni Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, NasDem, PKB, PKS, Perindo, PSI, PPP, Garuda, dan Gelora.
Maka batallah PKS mendukung cagub ARB yang sejak semula menjadi simbol perubahan bagi perpolitikan nasional Indonesia. Namun, apakah kesempatan bagi PKS, partai anak kandung reformasi, dan ARB sang simbol perubahan, telah tertutup? Mestinya dengan putusan MK No.60/2024, peluang tersebut masih terbuka, terutama jika prinsip-prisnsip, moral, agama, demokrasi dan konstitusi menjadi acuan untuk bersikap dan mengambil keputusan.
Pada Pilpres 2024, PKS bersama Nasdem dan PKB merupakan tiga partai pengusung ARB dan Muhaimin Iskandar (ARB-MI). ARB-MI digadang-gadang menjadi simbol perubahan dengan politk bermoral dan bermartabat, guna melawan rezim oligarki nepotis, diduga sarat prilaku KKN, yang dipimpin Joko Widodo. Rezim ini bergabung dalam “kartel politik” Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang kiprahnya sangat ditentukan oleh Joko Widodo.
Jokowi adalah “master mind” di balik kemenangan paslon Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024 yang sarat kecurangan. Kecurangan ini sarat kejahatan moral-legal-konstitusional yang terstruktur, sistematis, massif (TSM) dan brutal. Megawati menyebutnya sebagai puncak kecurangan TSM yang tidak akan pernah diterima hati nurani, dan untuk itu Megawati telah mengajukan diri sebagai amicus curiae dalam sengketa Pilpres 2024 di MK (16/4/2024).
Dugaan pelanggaran konstitusi/UU dan kejahatan TSM brutal yang dilakukan sudah lebih dari cukup untuk melengserkan Jokowi dari kursi prseiden. Namun karena dukungan rezim oligarki, terutama kartel politik pemburu kekuasaan dan pengusaha pemburu rente, maka kekuasaan Jokowi tetap bertahan. Salah satu “kiat busuk” rezim oligarki nepotis adalah pola politik sandera, yang ditujukan bukan saja pada kalangan elit, tapi sampai turun ke kepala-kepala desa. Kiat politik ini juga dikombinasikan dengan pola “stick-carrot”, sehingga ormas-ormas keagamaan pun masuk dalam genggaman rezim oligarki nepotis.
Menjelang Pilpres 2024, Jokowi membegal demokrasi dan konstitusi melalui terbitnya Putusan MK No.90/2023, guna meloloskan Gibran jadi cawapres. KIM mendukung kejahatan ini. Menjelang Pilkada 2024, Jokowi menekan MA menerbitkan Putusan No.23/2024, guna meloloskan Kaesang jadi cagub/cawagub. Ternyata, bukan KIM yang mendukung kejahatan ini, tetapi KIM Plus, yang termasuk di dalamnya Nasdem, PKB dan PKS. Salah satu “hasil karya” KIM Plus, dikombinasi dengan kiat politik kotor Jokowi di atas, adalah diluncurkannya pasangan RK-SO (Ridwan Kamil-Suswono) dan dihambatnya ARB ikut Pilkada DKI.
Belakangan, pada 20 Agustus 2024 MK menerbitkan Putusan No.60 dan No.70/2024. MK mengubah persyaratan pengusungan pasangan calon oleh partai politik. Ketentuannya berubah: dari semula memerlukan perolehan minimal 20% kursi DPRD atau 25% suara sah, menjadi 6,5% hingga 10% sesuai jumlah penduduk dalam daftar pemilih tetap. MK juga membatalkan Putusan MA No.23/2024, dan kembali menyatakan berlakunya ketentuan usia minimum calon kepala daerah sesuai ketentaun Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada. Kedua putusan MK ini membuat syarat perolehan suara partai untuk pencalonan menjadi lebih rendah. Maka, PKS di DKI bisa mengajukan calon sendiri dan Kaesang tidak eligible ikut pilkada.
Putusan MK No.60 dan No.70 membuat rezim oligarki nepotis kalang-kabut. Mereka bertindak otoriter, melanggar konstitusi dan menghalalkan segala cara. Hal ini tampak dari tindakan KIM Plus yang berupaya mengeliminir Putusan No.60 dan No.70 sehari berikutnya, melalui Baleg DPR yang menyepakati RUU Pilkada (21/8/24). Pembahasan RUU Pilkada ini berlangsung kilat, disahkan melalui empat rapat dalam satu hari dan hanya dalam kurun waktu tujuh jam. Rencananya RUU ini akan disahkan pada Sidang Paripurna DPR 22 Agustus 2024.
Untunglah rakyat melawan. Pada 22 Agustus 2024, demonstrasi puluhan ribu rakyat di depan Gedung DPR/MPR, dan juga di berbagai kota di Indonesia, telah membuat DPR dan KIM Plus urung menyepakati RUU Pilkada. Artinya gagal mengeliminir Putusan MK No.60 dan No.70. Maka rekayasa busuk dan kejahatan memuluskan rencana Jokowi membangun dinasti kekuasaan, termasuk para pendukung rezim oligarki nepotis tampaknya gagal.
Sekarang, menjelang tutupnya batas waktu pendaftaran calon-calan kepala daerah, masih tersisa waktu bagi partai-partai untuk merubah calon-calon dan komposisi partai pendukungnya. Hal ini juga relevan bagi partai-partai untuk mengoptimalkan pemilihan calon yang diusung sesuai prinsip-prinsip moral, konstitusi, demokrasi, aspirasi/kepentingan rakyat, kepentingan partai, daerah/wilayah pemilihan, dll. Khusus DKI, maka sangat relevan bagi PKS segera mencalonkan ARB/Anies, karena alasan-alasan berikut.
Pertama, sejak awal PKS dan ARB berasal dan berada dalam satu visi/misi perubahan ke arah Indonesia yang lebih baik. PKS sebagai partai yang lahir dari reformasi, sudah seharusnya konsisten dengan visi/misi dan konsisten pula dengan sikap awal mendukung ARB.
Kedua, ARB adalah cagub yang didukung mayoritas rakyat Jakarta, dan hal ini telah dikonfirmasi oleh banyak hasil survei. Sangat absurd jika suara rakyat ini dikhianati PKS yang mengaku partai pro rakyat, pro perubahan, anti KKN, dll.
Ketiga, bergabungnya PKS dalam KIM Plus mengusung RK-SO ditetapkan saat cengkeraman rezim oligarki nepotis “masih kuat”. Setelah putusan MK No.70, sikon berubah. Maka PKS harus tampil independen, konsisten sikap awal, tegak lurus suara rakyat dan menghargai/sejalan sikap para peserta aksi telah berjasa merubah aganda busuk Jokowi.
Keempat, dengan keluar dari KIM Plus, secara otomatis dugaan tindakan moral hazard atau adanya tuduhan “miring” terkait logistik/uang yang diterima PKS dari oknum-oknum oligarki nepotis (agar mau masuk “kolam” KIM Plus) otomatis akan terbantahkan.
Kelima, PKS harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip moral/agama Pancasila dan konstitusi. Salah satu esensi utama prinsip moral/agama adalah taat pada perintah Allah dan Rasulnya tanpa pamrih. Pilpres 2024 yang dimenangkan Prabowo-Gibran secara curang TSM brutal, sangat nyata melanggar aturan agama Allah/ Rasulnya. Maka, mestinya, pertimbangan-pertimbangan lain yang menjustifikasi kebijakan PKS berkoalisi dengan pelaku curang dan pencuri suara rakyat, otomatis harus tidak berlaku atau harus dikalahkan. Hukum agama yang sangat mendasar haram dikompromikan.
Keenam, pasangan Prabowo-Gibran adalah satu paket pemenang Pilpres Curang 2024. Prabowo pun berulang-kali memuji-muji dan menyatakan akan melanjutkan kebijakan Jokowi, kebijakan rezim ologarki nepotis. Rakyat tidak akan percaya klaim bahwa Prabowo berbeda dengan Gibran/Jokowi. Toh mereka memulai komplotan dengan sama-sama melakukan kecurangan.
Ketujuh, dari sekian banyak calon, ARB adalah pilihan terbaik paling layak dan pantas dipilih rakyat, jika diuji dari berbagai kriteria untuk memilih pemimpin. ARB diharap akan menjadi pemimpin Indonesia masa depan, jika berhasil memenangkan Pilkada DKI 2024.
Mungkin masih ada alasan lain mengapa PKS dan ARB harus bersatu dalam Pilkada DKI. Kita juga faham berbagai kekurangan tentang ARB yang menjadi catatan rakyat dan PKS, khususnya. Namun tujuh alasan di atas sudah lebih dari cukup bagi PKS untuk meningglkan KIM Plus, serta bergabung bersama ARB dan rakyat, guna melawan kartel politik KIM dan rezim ologarki nepotis pimpinan Jokowi yang telah mengkianati Pancasila, UUD 1945, daulat rakyat, sistem demokrasi, dan amanat reformasi.[]
Jakarta, 27 Agustus 2024.