Oleh: Tardjono Abu Muas, Pemerhati Masalah Sosial
Beberapa hari terakhir ini miris rasanya bila kita menyimak berita di berbagai siaran televisi nasional, yang memberitakan sekaligus menayangkan kerumunan dan antrian panjang sebagian besar emak-emak yang harus mengantri membeli minyak goreng yang tidak boleh lebih dari dua liter.
Licinnya minyak goreng ternyata tak selicin untuk membelinya walau hanya diperbolehkan dua liter. Ada emak-emak yang harus terlebih dahulu menempuh perjalanan 6 – 7 km untuk sampai di tempat penjualan minyak goreng murah seharga Rp.14 ribu/liter. Lebih menyedihkan lagi, konon akibat dari antrian ini ada korban seorang emak-emak yang meregang nyawa.
Inilah potret negeri penuh ironi. Kenapa “ironis?”, karena negeri ini konon menjadi “raja sawit dunia” sejak tahun 2006, tapi kini rakyatnya mesti harus mengalami kesulitan memperoleh minyak goreng walau hanya 1-2 liter? Patut diduga, jangan-jangan negeri ini sudah “salah urus” dalam pengelolaan sumber daya alamnya sehingga berakibat rakyatnya tak bisa menikmati.
Soal “salah urus” negara ini, bagi orang yang beriman tentu yakin seyakin-yakinnya akan sinyalemen Rasulullah SAW melalui sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi SAW bersabda, “Apabila sebuah urusan/pekerjaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka bersiaplah menghadapi hari kiamat”. Masihkah berani berargumentasi lain atas kebenaran hadits Nabi SAW tersebut yang terkait dengan “ketidakbecusan” dalam urusan ummat salah satunya soal minyak goreng?
Ternyata urusan licin dan atau mulus terbitnya Undang-undang Ibu Kota Negara (UU IKN) tak selicin dan semulus rakyat dalam memperoleh minyak goreng walau 1-2 liter. Sungguh ironis dan mengenaskan, rakyat negeri “raja sawit sedunia” harus mengalami krisis minyak goreng.