Oleh: M. Rizal Fadillah*
Jokowi di penghujung usia kekuasaannya terus didera kecaman bahkan kutukan. Sukses merekayasa kemenangan Prabowo Gibran tidak menyebabkan apresiasi publik meningkat atas dirinya. Cawe-cawe Jokowi sulit untuk ditepis sekalipun dengan bantuan pertimbangan hukum Hakim MK. Publik membaca MK tidak berdaya dan terpaksa menjalankan program Istana. Ada iming-iming dan ancaman sanksi atas pembangkangan. Begitu dugaannya.
MK babak belur. Ketua MK Suhartoyo yang pada awalnya gembar-gembor akan mengubah citra MK yang telah kehilangan kepercayaan menjadi pulih dan dipercaya kembali ternyata hanya sebatas omon-omon. Begitu pula optimisme atas kepemimpinannya yang akan membuat kejutan bersejarah, justru dirinya yang terkejut dan berkeringat dingin. Sejarah masa lalu menjadi sandera kebebasan untuk mengambil Putusan. Suhartoyo loyo dan sontoloyo.
Jokowi bersama lingkaran Istana adalah faktor kekacauan politik dan hukum. Rakyat tidak bodoh untuk dibohongi oleh peran besar Istana dalam merekayasa. Itu ujung dari kerja yang penuh dosa dan beraroma mafia. MK adalah korban mutakhir, meski tak dapat memelas atas kesalahan dan keputusan yang terpaksa. Dosa tetap harus ditanggung sendiri.
Sudah menjadi “common sense” bahwa Jokowi adalah “common enemy”. Ia Presiden yang gagal dalam membawa rakyat bahagia dan sejahtera. Bagai katak yang menendang kaki agar dapat bergerak, maka rakyat, buruh, mahasiswa dan aparat menjadi alas tendangan agar katak dapat terus melaju.
Ramai teriakan untuk makzulkan Jokowi. Suara itu bertambah keras mendekati bulan dan hari akhir masa jabatan. Ada ketidakrelaan publik jika Jokowi berhenti secara alami. Mungkin dianggap terlalu ringan bila dosa politik yang menumpuk hanya berbalas dengan lengser secara alami. Lalu bermaaf-maafan bagai hari lebaran.
Pemakzulan adalah keniscayaan. Masih ada waktu hingga Oktober 2024. Mei hingga Oktober adalah “crucial time” bagi rakyat pendesak pemakzulan maupun bagi Jokowi sendiri. Ketika Jokowi masih Presiden, Prabowo akan berakting sebagai Presiden. Di tengah kondisi seperti ini ada anggapan Prabowo akan berkonflik dengan Jokowi, lalu aspirasi pemakzulan Jokowi dipolakan dengan mendukung Prabowo.
Cara pandang seperti ini tentu ‘myopsis’ tidak benar. Jokowi dan Prabowo adalah satu. Apalagi ada Gibran dalam paket Prabowo. Jokowi adalah Prabowo, begitu juga sebaliknya. Jangan lupa, Jokowi yang menyetel agar Prabowo datang “menghadap” Xi Jinping di Beijing. Prabowo harus diikat oleh Jinping agar tidak liar dan tetap di bawah kendali Jokowi-Jinping. Xi adalah raksasa yang menakutkan yang dapat membuat Prabowo ciut nyali.
Adalah jebakan politik kemenangan haram Prabowo Gibran “dihalalkan” dengan berbagai dukungan yang katanya demi pemakzulan Jokowi. Sesuatu yang tidak rasional. Prabowo akan memproteksi Jokowi demi Gibran atau China. Prabowo sendiri sering memuji setinggi langit Jokowi “sang guru” yang merakyat. Runtuhnya Jokowi akan berimbas pada kekokohan Prabowo. Prabowo menjadi Presiden itu atas bantuan Jokowi. Dengan segala kecurangannya.
So, makzulkan Jokowi tanpa harus merapat dan mendukung Prabowo karena hal ini tidak adekuat. Aksi rakyat melalui “people power” menjadi langkah paling efektif. Konstitusi membuka jalan. Membenahi negara harus fundamental tetapi bertahap dan tahap awal itu adalah dengan pemakzulan Jokowi. Hal ini akan berdampak pada stabilitas Prabowo Gibran sebagai pasangan haram konstitusi, haram demokrasi, dan haram hak asasi.
Mayday Indonesia, situasi darurat yang harus cepat diatasi. Membiarkan sama dengan menghancurkan.
Makzulkan Jokowi tanpa harus mendukung Prabowo. Ini adalah pilihan sehat.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 28 April 2024