Orang yang sedang dibuai dan terlena oleh nikmatnya kekuasaan, akan selalu bermimpi kekuasaannya abadi. Mereka tak ingin pelampiasan birahi kekuasaannya berakhir. Lalu dengan berbagai cara mereka berusaha mempertahankan dan memperpanjang usia kekuasaannya agar tak mati-mati.
Caranya tentu dengan menghalalkan segala cara. Hati nurani dikhianati meski selalu berbusa dalam memekikkan hati nurani rakyat. Akal sehat dijungkir-balikkan meski gelar ilmiah berderet di depan dan di belakang namanya. Kitab suci dikhianati meski dihafal di luar kepala dan selalu dikumandangkan dengan irama yang syahdu.
Rasa takut ditebar merata di seluruh jengkal tanah. Orang-orang kritis dibungkam dengan berbagai aturan. Penangkapan dimana – mana hanya bermodal praduga dan gosip serta bisikan genit para pencari sesuap nasi.
Mereka berfikir semua itu akan memperpanjang umur kekuasaannya. Padahal sekali-kali tidak. Sejarah telah mengajarkan dengan telanjang bahwa kekuasaan tidak ada yang bisa dipertahankan hanya dengan menebar ancaman dan rasa takut. Justru sebaliknya hal itu membuat rasa muak menyebar di seantero negeri.
Masyarakat memang tampak berbungkuk menunjuk rasa hormat, tetap hati sambil mengumpat dan berusaha meraba belati untuk ditusukkan ke kekuasaan saat kesempatan itu datang, tepat di ulu hati.
Kekuasaan sama sekali tidak bisa dijaga hanya dengan menyebar bodyguard berwajah dan berseragam ngeri. Rakyat memang tampak menyenandungkan puja dan puji. Tapi itu hanya dibibir saja. Sebaliknya sumpah serapah memenuhi seluruh hati.
Kekuasaan sama sekali tidak bisa diperpanjang hanya dengan mengikrarkan Undang-undang berisi ancaman dan persekusi.
Rakyat memang tampak berjanji akan memilih untuk yang kesekian kali. Tetapi di hati, mereka tak terima dikhianati untuk yang kesekian kali.
Kekuasaan tidak akan bisa diperpanjang hanya dengan menunjukkan kesewenang-wenangan cemeti. Sama sekali tidak. Tetapi kekuasaan hanya bisa dipertahankan dengan membangun rasa empati dan peduli. Bahkan kekuasaan itu hanya akan bertahan dengan menebar simpati dan kerendahan hati.
Empati, simpati, peduli dan kerendahan hati itu sama sekali bukan urusan pencitraan di tv, tetapi lahir sebagai ketakwaan yang bersemayam di dalam hati.
Sekali saja kezaliman terjadi, sekali saja kesewenang-wenangan dipamerkan, sekali saja penangkapan terjadi, itu benar-benar melukai hati, yang rasanya lebih sakit dari membayar upeti dan itu membuat kekuasaan layaknya jasad yang telah mati.
Wallahu a’lam.
By Ustadz Choirul Anam