Mengapa Ahok Bisa Selalu Bermasalah jika memimpin Jakarta?
( Ahok dan Soal Al Maidah dalam wawancara video Al-Jazeera TV)
Oleh Denny JA
Sejak kemarin, beredar luas video wawancara Ahok dengan reporter Al-Jazeera TV di aneka grup WA. Ini link yg sempat saya tonton hingga selesai: https://youtu.be/O5OCEV99vbk. Mungkinkah soal Ahok dan Al Maidah akan heboh kembali?
Total durasi video wawancara sekitar 22 menit lebih. Dugaan saya ini video TV Al Jazeera untuk program khusus. Banyak isu yang dibicarakan seputar Ahok dan kasus penistaan agama hingga nominasi Nobel untuk Ahok.
Pada menit ke 3.32- 3.41, ditanya apakah Ahok menyesal (mengutip Al Maidah yang membuatnya menjadi kontroversi)? Ahok menyatakan tak menyesal soal mengutip surat Al Maidah itu. Jika diulang lagi di pulau seribu ia akan menyatakan hal yang sama soal surat Al Maidah . Ia tak ada niat menghina agama Islam.
“Wah,” saya mengerenyitkan dahi sambil minum kopi. Sikap Ahok ini kembali akan memancing pro dan kontra di publik luas.
Bagi pendukungnya, itu adalah komentar yang lugas dan jujur dari Ahok. Ia memang tak ada niat menghina agama Islam. Tak ada masalah ia mengulanginya kembali karena niat meghina memang tak ada.
Tapi bagi yang kontra, lagi dan lagi ia menjadi bukti bahwa Ahok memang tak menyesal. Bahkan ia tak masalah mengulangi kembali mengutip soal Al Maidah itu.
-000-
Ini berbahaya. Mengapa? Karena selaku pejabat publik di ibu kota Indonesia, ia tidak sensitif dengan perasaan orang banyak. Apalagi ini menyangkut keyakinan agama orang banyak yang kebetulan bukan menjadi keyakinan Ahok pribadi.
Ahok melupakan atau tidak kapabel untuk hal mendasar dalam komunikasi pejabat publik. Ia berkeras hati hanya berpegang pada niatnya pribadi. Padahal publik tak bisa melihat niat yg ada di dalam hati. Para penyairpun tak bisa membaca secara akurat niat di hati.
Publik hanya melihat respon mereka yang ahli soal agama, aparat hukum dan orang banyak.
Jelas- jelas MUI menyatakan pernyataan itu menista agama. Jelas jelas tokoh dari banyak ormas besar seperti Dien Syamsudin menyatakan jika Ahok dibebaskan dari jeratan hukum, ia sendiri yang akan memimpin demo.
Jelas-jelas karena ucapannya, berlangsung demo 212. Ini demo terbesar yang pernah ada dalam sejarah Indonesia.
Jelas-jelas karena ucapannya, aparat hukum Republik Indonesia membuat Ahok menjadi tersangka, dan kini terdakwa penista agama.
Bukankah ini semua adalah bukti yang terang benderang? Otoritas agama, massa yang banyak, bahkan aparat hukum berbeda dengannya, dan tak hanya (dan tak perlu) tahu apa niat Ahok. Mengapa ia masih bersikeras soal niatnya saja.
-000-
Tadinya publik sudah mulai melupakan kasus itu. Okelah Ahok salah ucap dan ia menyatakan minta maaf berulang kali. Elektabilitasnyapun naik kembali di aneka survei. Istilah kerennya: Rebound!
Tapi kini dalam video wawancara itu, Ahok menyatakan ia tak menyesal. Lebih jauh, ujar Ahok tak ada masalah mengulangi menyatakan hal itu kembali. Ia berdiri semata-mata pada niat baiknya. Ia tak peduli efeknya pada orang banyak, orang yang sangat-sangat banyak.
Dengan karakter seperti itu, Jakarta di bawah Ahok akan potensial tak stabil. Bagaimana tidak? Pemimpinnya hanya peduli pada niatnya. Respon banyak orang, ulama, bahkan aparat hukum, ia entengkan saja.
Ahok lupa menjadi gubernur itu tak cukup hanya punya ketrampilan manajerial dan administrasi. Menjadi gubernur juga perlu empati, menghormati perasaan orang lain. Apalagi soal agama mayoritas yang sensitif.
Tak heran mengapa selaku petahana, ia justru menjadi cagub yang kesukaan publik padanya paling rendah di aneka survei. Bahkan juga ia terendah dari sisi “kesukaan atas Cagub” di survei lembaga yang tokohnya bersimpati padanya. Berberda dengan pertahana lain yang dicintai rakyatnya seperti Risma di Surabaya, atau Anas di Banyuwangi.
Jika saja Ahok lebih punya empati. Jika saja ia lebih mau bertoleransi dengan keyakinan ataupun interpretasi keyakinan yang berbeda dengannya. Jika saja Ahok tak mau mengulangi hal yang sudah terbukti membawa Jakarta tak produktif akibat pro kontra soal agama. Ahok layak menjadi pemimpin.
Tapi lagi lagi membuktikan Ahok bukan saja tak punya “kecerdasan emosional” itu. Ia juga berkepala batu hanya dengan niat saja. Dan yang berbahaya, seolah Ahok punya kecenderungan tak peduli reaksi otoritas agama, aparat hukum, dan orang banyak.
Jika ia tak peduli dengan respon koruptor itu oke dan bagus. Tapi reaksi otoritas agama, aparat hukum, dan orang banyak soal agama jangan disamakan dengan reaksi koruptor yang bisa dan boleh ia abaikan.
Pemilih rasional sekalipun, katakanlah sentimen agamanya tidak tinggi, akan terganggu. Cukup dengan melihat rendahnya empati Ahok kepada otoritas agama dan respon orang banyak, pemilih rasional bisa menyatakan : Wow! Sayang sekali. Dengan karakter seperti ini, Jakarta akan potensial menyimpan banyak ledakan sosial jika ia terpilih kembali.***
30 Jan 2017
Link: http://go.shr.lc/2jkAp7n