Pemuda Ibrahim, suatu hari, diminta ibunya untuk ikut antri di Istana Namruj.
Hari itu sang Babilonia Satu, punya hajad besar: bagi2 sembako untuk rakyat. Ini agenda rutin Namruj, untuk mempertontonkan “kedermawanan rezim korup” tsb pada khalayak. Seperti biasanya, beritanya oleh para buzzer Rp dan media rezim di blow up amat bombastis.
Hingga rakyat lupa, betapa beban nestapa yang tak kunjung reda oleh ulah Rezim yg hobi ngeprenk tsb.
Bagaimana tidak?
Pajak gila2an yg mencekik, aturan istana yg mebolehkan tentara memeras dan menindas rakyat jelata. Hukum yg tumpul ke atas dan amat tajam ke bawah. Para konglomerat selalu dimanjakan. Para buzzer Rp rezim dan tentara yg hobi pesta zina, mabuk2an dan memperkosa para wanita kalangan jelata. Pendek kata, kemaksiatan dan kemusyrikan begitu dahsyatnya melanda seluruh negeri Babilonia.
Yaa sobat…!
Rezim amat korup dari hasil memeras dan menipu rakyat itu, selalu dicitrakan para media bayaran dan buzzer Rp sbg Rezim Dermawan.
Saat antrian panjang pembagian sembako, pemuda Ibrahim ikut di dalamnya. Sebelum dapat giliran, ia melihat rakyat dg wajah letih, bergantian menyembah2 dan sujud pada Namruj. Setelah itu mereka baru diberi sekantong sembako. Begitu seterusnya.
Tiba giliran Ibrahim, pengawal istana memerintahkan pemuda itu bersujud pada Namruj, jika ingin dapat jatah sekantong sembako.
Ibrahim tak juga bergeming dari posisinya. Ia tetap berdiri tegak.
“Heeiii budak… ayo sujud pada maha raja Namruj…!” teriak pengawal.
Ibrahim tak berubah posisinya. Hening sejenak. Suasana agak mencekam. Semua mata saat itu, termasuk Namruj, tertuju pada pemuda berani itu.
“Aku tidak akan sujud pada makhluq. Karena aku diperintah oleh Tuhanku, Tuhan kalian, dan Tuhan semesta alam, hanya sujud kepadaNYA…!”
Sebuah sikap berani, mulia dan penuh izzah, diperlihatkan Ibrahim. Dia membuat sikap kontra flow dari mainstream sikap memperbudak diri nyaris seluruh rakyat dari segenap lapisan masyarakat Babilonia kala itu.
Sikap dan pendirian Ibrahim amat teguh. Tak ada beban dan belenggu kepentingan dunia apapun yg bisa merantai kemerdekaannya. Keyakinan pada Robbul ‘Izzati, begitu ia jaga dg kuat. Ia malu pada Robbnya, jika ikrar kesetiaannya pada Robb Maha Pencipta, ia sengaja hancurkan, dg cara menjilat dan menyembah2 makhluq. Sikap yg tak patut dan tak sudi dilakukan oleh seseorang yang beriman kpd Allah da RasulNYA.
Yaa sobat, itulah sikap merdeka yg hakiki. Sikap dan pendirian yg teguh untuk tidak sudi menyembah pada kehinaan. Bukankah ada sebuah adagium yg mengatakan: “abdul Jaliila jaliil. abdul dzaliila dzaliil…!” (Menyembah Yg Maha Tinggi, akan mulia. Menyembah yg hina akan hina).
Hanya Allah Yang Maha Mulia, Maha Tinggi. Sedangkan selain Allah, adalah Hina, Rendah, dan sesat.
“Maka itulah Allah, Tuhan kamu yg Haq. Maka tidaklah setelah yg Haq itu, melainkan kesesatan. Maka mengapa kamu bisa berpaling dari kebenaran…?” (QS 10:32)
Saat Sayyid Qutb, rohimahulloh, menanti eksekusi di tiang gantungan, seorang imam istana ikut mendampingi beliau.
“Ya Tuan Sayyid Qutb, saya ikut mendampingi dan akan menuntun anda menjelang kematian anda. Agar anda husnul khotimah, ucapkanlah kalimat Laa ilaha illaLLah sebelum anda dieksekusi mati…!”
Sayyid Qutb berdiri tegak menatap tiang gantungan. Pengarang buku “Ma’alim fiit Thoriq dan Tafsir Dzilaal” itu, tak sedikitpun kelihatan cemas. Bahkan wajahnya ceria, bersih dan bercahaya.
Ia menoleh kpd imam suruhan Rezim Gamal Abdun Nasher itu. Senyum sang mujahid gagah itu keliatan kecut, seperti mencibir sang imam suruhan rezim tsb.
“Yaa syekh, anda juga ikut menyempurnakan sandiwara ini…?? Apa engkau tidak tau, atau pura2 tidak tau? Bukankah aku berada di sini, lantaran aku memperjuangkan kalimat Laa ilaha illaLLah ini hingga akhir hayatku…?”
Sang Imam tersipu dan tertunduk malu, dg apa yang dilontarkan sang Mujahid perkasa itu. Ia mungkin baru merasa, betapa memang ia sdg ikut2an main Sandiwara Demokrasi rezim Mesir yg amat buas kala itu.
Ibrahim AS, Musa AS, Asiah, Masyitoh, para pemuda Kahfi, Mush’ab bin Umair, Bilal bin Robbah, Ja’far bin Abu Talib, Robbi bin ‘Amr, Thoriq bin Ziyad, Solahuddin al Ayyubi, Zainab Al Ghazali, Izzuddun al Qosam, Dr. Mursi, Syekh Ahmad Yasin, Yahya Ayyas, Abdullah ‘Azzam, hingga Sayyid Qutb, adalah samudera keteladanan yg tetap hidup. Mereka adalah Prasasti Abadi tak pernah mati, yg memberi pesan :
“Hiduplah dengan merdeka hakiki, tanpa tunduk2 menyembah dan menghinakan diri di hadapan makhluq, hingga hembusan nafas terakhirmu…!”
“Jangan kau hinakan dirimu yg Allah telah memuliakannya dg kalimat merdeka (tauhid), dg menunduk penuh hina di hadapan makhluq. Walaupun engkau kelihatan bebas dan merdeka, tapi sesungguhnya engkau adalah makhluq yg tengah terbius oleh kebebasan hina, nisbi dan basa-basi…!”