Pengurus Cabang NU Pasuruan, Jawa Timur dikabarkan mengancam akan memecat banser yang tetap bersikukuh menjaga gereja saat natalan tahun ini. Informasi ini disampaikan Dewan Pakar Aswaja NU Jatim KH. Muhammad Idrus Ramli melalui facebooknya.
“Bangga dengan PCNU Pasuruan, BANSER yang ikut menjaga gereja akan dipecat, “ujar Kiai Idrus Ramli, Kamis, (22/12).
Selain menyampaikan info tersebut, Kiai Idrus juga merinci secara indah dalil keharaman membantu acara natalan.
DALIL KEHARAMAN MEMBANTU ACARA NATALAN
Pada masa Jahiliyah, di Madinah ada berhala bernama Zur. Setiap tahun, orang-orang musyrik mengadakan hari raya keagamaan di area patung tersebut selama satu minggu. Setelah Islam datang, ketika orang-orang musyrik mengadakan hari raya keagamaan, para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melewati tempat itu mereka menjaga kehormatan diri mereka dengan tidak melihat patung dan orang-orang yang ada di situ. Sikap para sahabat tersebut direspon dan dipuji oleh Allah dalam al-Qur’an ayat:
وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan zur (kepalsuan), dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS al-Furqan : 72).
Ayat di atas membicarakan tentang sifat-sifat orang-orang yang beriman kepada Allah yang disebut dengan ‘ibadurrahman (hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih). Di antara sifat mereka adalah tidak menyaksikan, tidak menghadiri dan tidak mendatangi zur atau kepalsuan. Demikian penjelasan Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dan dikutip oleh al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi dalam tafsirnya al-Durr al-Mantsur. Oleh karena itu, para ulama salaf menafsirkan ayat di atas dengan penafsiran beragam secara redaksional, akan tetapi kemiliki kesatuan dalam pengertian.
Dalam satu riwayat, Ibnu Abbas dan al-Dhahhak, menafsirkan ayat tersebut, dengan arti tidak menghadiri acara-acara hari raya orang-orang Musyrik. Lebih tegas lagi, penafsiran Imam Qatadah:
وَأخرج عبد بن حميد وَابْن أبي حَاتِم عَن قَتَادَة رَضِي الله عَنهُ {وَالَّذين لاَ يشْهدُونَ الزُّور} قَالَ: لاَ يساعدون أهل الْبَاطِل على باطلهم وَلاَ يمالؤنهم فِيهِ
Abd bin Humaid dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Qatadah radhiyallaahu ‘anhu: “(Dan orang-orang yang tidak menyaksikan zur (kepalsuan)”. Qatadah berkata: “Mereka tidak membantu pengikut kebatilan atas kebatilan mereka dan tidak menolong mereka dalam hal kebatilan tersebut.” (Al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, juz 6 hlm 282-283).
وأخرج أبو القاسم اللالكائي عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ: {وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ} [الفرقان: 72] قَالَ: لاَ يُمَالِئُونَ أَهْلَ الشِّرْكِ عَلَى شِرْكِهِمْ وَلاَ يُخَالِطُونَهُمْ.
Abu al-Qasim al-Lalaka’i meriwayatkan dari Amr bin Murrah (ulama salaf): “(Dan orang-orang yang tidak menyaksikan kepalsuan) maksudnya tidak membantu orang-orang musyrik atas kesyirikan mereka dan tidak bergabung dengan mereka.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkam Ahl al-Dzimmah, juz 3 hlm 1245).
Dari beberapa versi penafsiran ulama salaf di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa ketika orang-orang Musyrik mengadakan hari raya keagamaan, maka orang-orang beriman yang selalu mengharapkan kasih sayang Allah, tidak akan menghadiri, menonton dan membantu acara keagamaan tersebut. Secara tidak langsung, ayat di atas menjadi larangan bagi kaum beriman untuk menghadiri, melihat dan membantu acara hari raya kaum musyrik. Pertanyaannya sekarang adalah, larangan menghadiri, menyaksikan, menonton dan membantu acara hari raya keagamaan agama lain di atas, apakah bersifat makruh saja, atau justru haram?
Jawaban dari pertanyaan di atas, akan dapat diketahuhi dengan mudah apabila kita mengetahui alasan pelarangan tersebut. Dalam konteks ini, al-Imam Fakhruddin al-Razi ketika menafsirkan ayat di atas memberikan penjelasan sebagai berikut:
الزُّورُ يَحْتَمِلُ إِقَامَةَ حُضُورَ كُلِّ مَوْضِعٍ يَجْرِي فِيهِ مَا لاَ يَنْبَغِي وَيَدْخُلُ فِيهِ أَعْيَادُ الْمُشْرِكِينَ وَمَجَامِعُ الْفُسَّاقِ، لأَنَّ مَنْ خَالَطَ أَهْلَ الشَّرِّ وَنَظَرَ إِلَى أَفْعَالِهِمْ وَحَضَرَ مَجَامِعَهُمْ فَقَدْ شَارَكَهُمْ فِي تِلْكَ الْمَعْصِيَةِ، لأَنَّ الْحُضُورَ وَالنَّظَرَ دَلِيلُ الرِّضَا بِهِ، بَلْ هُوَ سَبَبٌ لِوُجُودِهِ وَالزِّيَادَةِ فِيهِ، لأَنَّ الَّذِي حَمَلَهُمْ عَلَى فِعْلِهِ اسْتِحْسَانُ النَّظَّارَةِ وَرَغْبَتُهُمْ فِي النَّظَرِ إِلَيْهِ.
“Kata zur dalam ayat tersebut berkemungkinan menghadiri setiap tempat yang terjadi sesuatu yang tidak patut, dan masuk pula di dalamnya hari raya orang-orang musyrik dan tempat perkumpulan orang-orang fasiq. Karena orang yang bergabung dengan orang-orang yang buruk, melihat perbuatan mereka, dan menghadiri perkumpulan mereka berarti benar-benar ikut andil dengan mereka dalam kemaksiatan tersebut. Karena menghadiri dan menyaksikan termasuk bukti kerelaan terhadapnya. Bahkan menghadiri dan memandang merupakan sebab keberadaan dan perkembangannya. Karena suatu hal yang mendorong mereka untuk melakukannya adalah anggapan baik menonton dan keinginan mereka menyaksikannya.” (Al-Imam al-Razi, al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, juz 24 hlm 98-99).
Dalam paparan al-Imam al-Razi di atas dijelaskan, bahwa larangan menghadiri, menonton, melihat dan membantu hari raya orang-orang musyrik, karena hal tersebut menjadi bukti kerelaan terhadap kemaksiatan dan kesyirikan. Sedangkan rela terhadap kemaksiatan adalah maksiat. Sebagaimana rela terhadap kekufuran adalah kufur. Al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami, menyampaikan kaedah baku dalam madzhab Syafi’i sebagai berikut:
اَلرِّضَا بِالْكُفْرِ كُفْرٌ وَلَوْ ضِمْنًا
“Rela terhadap kekafiran adalah kafir, meskipun kerelaan tersebut bersifat implisit.” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-I’lam bi-Qawathi’ al-Islam, hlm 133).
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan, bahwa larangan menghadiri, menonton dan membantu acara hari raya orang-orang musyrik adalah haram. Bahkan termasuk bukti kerelaan terhadap kekafiran yang hukumnya adalah kafir. Oleh karena itu, para ulama telah berijma’ tentang keharaman menghadiri, menonton dan membantu acara hari raya orang-orang musyrik. Dalam konteks ini Syaikh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah al-Hanbali berkata:
حُكْمُ حُضُورِ أَعْيَادِ أَهْلِ الْكِتَابِ … لاَ يَجُوزُ لِلْمُسْلِمِينَ مُمَالأَتُهُمْ عَلَيْهِ وَلاَ مُسَاعَدَتُهُمْ وَلاَ الْحُضُورُ مَعَهُمْ بِاتِّفَاقِ أَهْلِ الْعِلْمِ الَّذِينَ هُمْ أَهْلُهُ.
“Hukum menghadiri hari raya Ahlul-Kitab (Yahudi dan Nasrani) … Kaum Muslimin tidak boleh membantu mereka, memberikan pertolongan dan hadir bersama mereka berdasarkan kesepakatan ahli ilmu agama yang memang ahli di bidangnya.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkam Ahl al-Dzimmah, juz 3 hlm 1245).
Kemudian beliau mengutip pernyataan seorang ulama madzhab Syafi’i, yaitu al-Imam al-Hafizh Abu al-Qasim Hibatullah bin al-Hasan bin Manshur al-Thabari al-Syafi’i yang berkata:
وَلاَ يَجُوزُ لِلْمُسْلِمِينَ أَنْ يَحْضُرُوا أَعْيَادَهُمْ؛ لأَنَّهُمْ عَلَى مُنْكَرٍ وَزُورٍ، وَإِذَا خَالَطَ أَهْلُ الْمَعْرُوفِ أَهْلَ الْمُنْكَرِ بِغَيْرِ اْلإِنْكَارِ عَلَيْهِمْ كَانُوا كَالرَّاضِينَ بِهِ الْمُؤْثِرِينَ لَهُ، فَنَخْشَى مِنْ نُزُولِ سُخْطِ اللهِ عَلَى جَمَاعَتِهِمْ فَيَعُمُّ الْجَمِيعَ، نَعُوذُ بِاللهِ مِنْ سُخْطِهِ.
“Kaum Muslimin tidak boleh menghadiri hari raya mereka, karena sesungguhnya mereka berada pada kemungkaran dan kepalsuan. Apabila orang-orang baik bergabung dengan orang-orang yang melakukan kemungkaran dengan tanpa mengingkari kemungkaran tersebut, maka berarti mereka seperti orang-orang yang rela terhadap kemunkaran tersebut dan bahkan mengutamakan kemungkaran itu. Kami mengkhawatirkan turunnya murka Allah kepada perkumpulan mereka, maka kemurkaan itu akan merata kepada semuanya. Kami berlindung kepada Allah dari kemurkaan-Nya.”
Al-Imam al-Baihaqi meriwayatkan beberapa pernyataan kaum salaf tentang larang menghadiri hari raya orang-orang musyrik sebagai berikut:
عَنْ عَطَاءِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ قَالَ عُمَرُ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ : لاَ تَعَلَّمُوا رَطَانَةَ الأَعَاجِمِ وَلاَ تَدْخُلُوا عَلَى الْمُشْرِكِينَ فِى كَنَائِسِهِمْ يَوْمَ عِيدِهِمْ فَإِنَّ السُّخْطَةَ تَنْزِلُ عَلَيْهِمْ.
“Atha’ bin Dinar berkata: “Umar radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Janganlah kalian mempelajari bahasa kaum Ajam, dan jangan memasuki gereja-gereja orang-orang musyrik pada hari raya mereka, karena kemurkaan akan turun pada mereka.”
عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : اجْتَنِبُوا أَعْدَاءَ اللهِ فِى عِيدِهِمْ.
“Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Jauhilah musuh-musuh Allah dalam hari raya mereka.”
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ : مَنْ بَنَى بِبِلاَدِ الأَعَاجِمِ وَصَنَعَ نَيْرُوزَهُمْ وَمِهْرَجَانَهُمْ وَتَشَبَّهَ بِهِمْ حَتَّى يَمُوتَ وَهُوَ كَذَلِكَ حُشِرَ مَعَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Abdullah bin Amr berkata: “Barangsiapa yang membangun rumah di negeri-negeri Ajami, mengadakan acara tahun baru mereka dan festifal mereka, dan menyerupai mereka hingga mati dalam keadaan demikian, maka akan dikumpulkan bersama mereka pada hari kiamat.” (Al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra juz 9 hlm 392).
Kesimpulan dari paparan di atas, menghadiri, melihat, menonton dan membantu acara hari raya orang-orang musyrik, Yahudi, Nasrani dan lain-lain hukumnya adalah haram dan termasuk bukti kerelaan terhadap kemaksiatan. Rela terhadap kemaksiatan adalah maksiat. Rela terhadap kekafiran adalah kafir.
Tulisan ini tidak dibuat sebagai bentuk kebencian kepada saudara-saudaraku yang ingin menjaga kegiatan natalan. Tetapi tulisan ini dibuat sebagai kasih sayang dan menginginkan semuanya tetap dalam koridor ajaran Islam Ahlussunnah Wal-Jamaah yang disebarkan oleh para pendahulu di tanah air. Wallahu a’lam.
Muhammad Idrus Ramli
Wallahu Alam
(ng/headlineislam.com)