Oleh : Tardjono Abu Muas, Pemerhati Masalah Sosial
Heboh terjangan badai tsunami penolakan atas terbitnya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) tak terelakan lagi. Uji nyali bagi para inisiator RUU HIP menghadapi terjangan angin puting beliung penolakan dari berbagai arah.
Timbulnya badai tsunami penolakan RUU HIP salah satu di antaranya patut diduga adanya oknum atau fraksi yang menginisitori guna mencoba mengotak-atik lima sila dalam Pancasila yang akan diperas menjadi Trisila kemudian akhirnya akan menjadi Ekasila.
Inilah di antaranya salah satu pemicu timbulnya badai tsunami penolakan RUU HIP. Sungguh diluar nalar sehat, Pancasila yang telah berpuluh-puluh tahun menjadi kesepakatan bersama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di negeri ini, kini mau dicoba diotak-atik sila-silanya.
Alih-alih pengamalan Pancasila yang hanya tinggal dimanifestasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kini malah diotak-atik lagi. Kata orang dungu bilang, seperti tidak ada kerjaan saja.
Masihkah para inisiator RUU HIP akan terus melanjutkan pembahasan dengan risiko siap menghadapi terjangan angin puting beliung penolakan yang semakin dahsyat? Jika hal ini terjadi, sangatlah di luar nalar sehat karena yang akan terjadi wakil rakyat akan berhadapan dengan rakyat yang diwakilinya. Pertanyaannya, lantas keberadaan mereka di parlemen itu mewakili siapa?
Untuk menjaga agar suasana negeri ini tetap kondusif terlebih saat ini kita masih harus menghadapi pandemi Covid-19, buanglah jauh-jauh keinginan untuk menggoalkan RUU HIP menjadi Undang-Undang. Tutup buku atau The End untuk RUU HIP.