Pakar hukum pidana UII Yogyakarta, Prof Mudzakkir, mengakui bahwa persoalan penahanan didasari alasan subjektif dan objektif. Namun, dia menegaskan pentingnya asas kelaziman. Misalnya, tersangka tindak pidana pencurian sewajarnya ditahan. Demikian pula dengan kasus korupsi atau terorisme.
Menurut Mudzakkir, dalam kasus penodaan agama, seorang tersangka selazimnya ditahan. “Ini menjadi pertanyaan besar buat semuanya. Mengapa perlakuan terhadap Ahok itu tidak selazimnya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam menangani perkara tindak pidana penodaan terhadap agama?”
Dia menjelaskan, kasus Ahok ini berkaitan dengan Pasal 156 (a) KUHP, bukan Pasal 156 KUHP. Pasal 156 (a) KUHP tentang penodaan terhadap agama, sedangkan Pasal 156 terkait penghinaan terhadap suatu golongan. “Tindak pidana agama, itu lazimnya ditahan. Tapi kalau penghinaan terhadap pribadi orang, itu umumnya memang tidak ditahan,” kata dia.
Kalaupun majelis hakim menilai Ahok tidak perlu ditahan, maka perlu dijelaskan kriteria-kriteria pasti mengenai kapan seseorang harus ditahan dalam tindak pidana apa.
“Saya khawatir, misalnya, nanti tindak pidana terorisme juga bisa tak ditahan. Terhadap korupsi, tak perlu ditahan. Maka akan jadi masalah. Karenanya, yang penting adalah perlakuan yang sama. Agar rakyat merasa diperlakukan adil tanpa melihat latar belakang etnis, dan lain-lain.”