Thursday, November 21, 2024
HomeHikmah dan NasehatPARADIGMA HUKUM PROGRESIF DALAM MENYIKAPI PENODAAN/PENISTAAN AGAMA

PARADIGMA HUKUM PROGRESIF DALAM MENYIKAPI PENODAAN/PENISTAAN AGAMA

Oleh : DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM.

Dosen Tetap Program Pascasarjana Universitas Krisnadwipayana

 

“Negara Republik Indonesia menempatkan agama pada kedudukan yang penting, dan mempunyai peranan, serta menjadi sasaran dalam pembangunan. Oleh karena itu, maka kebijakan-kebijakan politik harus memberikan tempat dan peranan yang terhormat kepada agama.”

“Kepentingan agama merupakan suatu hal yang penting untuk dilindungi. Kehidupan keagamaan yang normal serta terjaminnya tertib hukum (rule of law) merupakan conditio sine quanon.“

Praktek berhukum di Indonesia semakin memperlihatkan situasi yang dipengaruhi oleh positivisme hukum, bahkan positivisme undang-undang (legisme). Dalam pandangan yang positivistik itu, hukum hanyalah apa yang secara eksplisit tercantum dalam aturan hukum yang sah (perundang-undangan). Penggunaan asas-asas hukum dalam argumentasi hukum terpinggirkan. Dalam prakteknya, negara bersifat formalis saja, yang menjauhkan hukum dari keadilan. Contoh konkrit dan aktual adalah penanganan kasus penistaan agama Islam yang dilakukan oleh  Basuki T. Purnama alias Ahok sang Petahana oleh Bareskrim Mabes Polri. Permintaan izin kepada Presiden oleh Bareskrim untuk memeriksa yang bersangkutan, telah menuai protes sejumlah kalangan.

Melihat cara berhukum yang positivistik, Satjipto Rahardjo memperkenalkan gagasan hukum progresif.  Hukum progresif merupakan antithesis dari ajaran ilmu hukum positif (analytical jurisprudence) yang dipraktikkan di Indonesia, warisan kolonial Belanda. Hukum progresif melampui pikiran sesaat dan karena itu juga memiliki nilai ilmiah tersendiri. Hukum progresif, bertumpu pada paradigma holistik.  Sifat holistik dalam hukum progresif terlihat dalam pandangan Satjipto Rarhardjo yang menyatakan bahwa hakekat hukum tidak saja berkaitan dengan perundang-undangan, tetapi juga lingkungan, manusia, alam, dan orde kehidupan yang lebih besar. Memasukkan studi hukum ke dalam orde yang lebih besar bertujuan untuk menghilangkan pemisahan antara hukum dan kehidupan manusia. Menurutnya, inilah yang dinamakan mengembalikan hukum ke dalam keutuhan.

Ditinjau dari pemikiran hukum, gagasan hukum progresif juga bersifat holistik. Terdapat beberapa kedekatan antara hukum progresif dengan aliran atau teori hukum lainnya. Dapat disebutkan, antara lain: hukum alam atau hukum kodrat (natural law), hukum responsif, sociological jurisprudence, critical legal studies, maslahah (maqashid syari’ah), dan lain-lain. Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tetapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law).

Kembali pada perihal pengajuan izin kepada Presiden oleh Bareskrim dalam kepentingan pemeriksaan terhadap Ahok menunjukkan bekerjanya hukum menurut kehendak penguasa. Hal ini sangat mencederai rasa keadilan masyarakat, khususnya umat Islam. Menjadi pertanyaan serius, mengapa pihak Bareskrim memandang perlu izin dari Presiden? Apakah pihak Bareskrim sengaja membuka ruang bagi terciptanya polemik dan menunggu timbulnya kondisi yang tidak kondusif? yang pada akhirnya tidak ada lagi dialog digantikan dengan “JIHAD TERHADAP AHOK”!

Peraturan yang buruk tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadirkan keadilan bagi rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interpretasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan. Dapat dikatakan, peranan hukum progresif lebih ditekankan pada tahapan implementasi (pelaksanaan) dengan melakukan terobosan cara berhukum, salah satunya dengan melakukan interpretasi. Seyogyanya Bareskrim menerapkan hukum dengan berpijak kepada filosofi “hukum adalah untuk manusia”, yang mengadung semangat pembebasan yaitu pembebasan dari tradisi berhukum konvensional yang legalistik dan linier tersebut.

Penegakan hukum lebih dari sekedar menerapkan undang-undang dan prosedur (black letter law), karena kualitas dan intensitas penegakan hukum dapat berbeda-beda, oleh karena itu diperlukan penegakan hukum yang mesu budi, yaitu pengerahan seluruh potensi kejiwaan dalam diri, sehingga menimbulkan penegakan hukum yang vigilante (pejuang) dalam arti menjalankan hukum dengan kecerdasan spiritual.

Semoga Presiden dan aparatur penegak hukum mampu terbebas dari belengu kepentingan politik pragmatis yang pada akhirnya mengantarkan kita kepada kepunahan yang nyata.

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments

Noersatrio Harsanto on INDONESIA AKAN DIKEPUNG RELAWAN ANIES
sukirno on BUNUH DIRI PPP