Oleh Asyari Usman
Rafael Alun Trisambodo, pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP), bisa belikan anaknya mobil Rubicon yang harganya di atas 1.5 miliar. Rafael punya kekayaan resmi 56 miliar sesuai LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara). Kemudian, yang baru diungkap PPATK, Rafael punya 40 rekening bank yang nilai transaksinya 500 miliar.
Begitulah gambaran tentang orang-orang korup yang bekerja di DJP. Kekayaan 50 miliar tak seberapa; 200 miliar biasa saja.
Tapi, ironisnya, banyak pasien yang diusir oleh pihak rumah sakit hanya dengan alasa tidak ada tempat tidur. Atau karena tidak punya BPJS Kesehatan.
Indonesia ini kaya raya. Sangat kaya raya. Sungguh tak pantas pasien miskin diusir dari rumah sakit. Padahal, pasien-pasien itu masih memerlukan perawatan. Tapi, itulah yang terjadi.
Ini peristiwa yang saya saksikan sendiri. Seorang anak laki-laki yang berusia sekitar 13 tahun menderita tumor di mata kirinya. Mata anak ini menonjol besar.
Suatu hari, sekitar setahun yang lalu, dia untuk kedua kalinya dimasukkan ke RS pemerintah yang berstatus rujukan di Medan. Paling lengkap peralatannya.
Anak yang tak jadi diangkat tumor matanya itu disuruh-suruh pulang oleh para petugas RS negara itu. Dia tak jadi dioperasi karena kondisinya tidak memungkinkan lagi. Kondisi tak memungkinkan itu terjadi karena janji operasi ketika dia masih “sehat”, tidak dilaksanakan entah karena alasan apa.
Ketika dia masuk yang kedua itu, tumor di mata kirinya menjalar ke mata kanan. Suatu hari, anak itu mengeluh kepada ibunya bahwa mata kirinya pun ikut gelap. Tidak bisa lagi melihat.
Pihak RS mengatakan riskan untuk dioperasi. Saya memaknainya sebagai vonis bahwa anak itu tak punya harapan hidup lagi. Memang terbukti. Tak lama setelah dia keluar karena dipaksa oleh petugas RS, anak itu pun meninggal dunia.
Ibu Menteri Keuangan yang terhormat. Anda tahu apa tidak, begitu banyak pasien yang disuruh pulang sebelum perawatan selesai? Bu Menteri pernah dengar mengapa mereka disuruh-suruh pulang?
Mengapa cerita RS yang mengusir pasien harus dikaitkan dengan Anda, Bu Menteri? Karena para pasien diusir dengan alasan tempat tidur tak cukup. Banyak pasien baru yang masuk antrian.
Ini artinya tidak ada duit untuk menambah kapasitas RS. Tidak ada dana untuk membangun RS baru yang dikelola negara. Tentu semuanya urusan Menteri Keuangan.
Bu Menteri, RS pemerintah di Medan itu menjadi rujukan semua RS kabupaten-kota di seluruh Sumatera Utara. Wajar saja kalau RS ini kekurangan tempat tidur. Kapasitasnya sudah sangat tidak memadai lagi.
Nah, pantaskah Indonesia mengalami kekurangan tempat tidur di RS? Wajarkah kita melihat pasien berjejal di koridor-koridor RS menunggu tempat tidur kosong?
Untuk mengosongkan tempat tidur, pantaskan manajemen RS menyuruh-nyuruh pasien pulang dan seringkali memaksa? Tentulah tidak. Tidak wajar disuruh-suruh pulang; tidak wajar RS kekurangan tempat tidur; tidak wajar pula negara ini kekurangan RS yang berperalatan lengkap.
Semua ini tidak wajar karena Indonesia bukan negara miskin. Negara ini kaya raya. Yang menjadi masalah adalah kekayaan itu hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Termasuklah para pegawai korup di DJP yang korupsinya tidak tanggung-tanggung. Termasuklah para pejabat tinggi lainnya yang sebagian besar juga korup. Para gubernur, bupati, walikota, kepala dinas, dlsb, yang mencuri duit anggaran.
Selain kalangan penyelenggara pemerintahan yang korup itu, ada pula mitra mereka yang rata-rata rakus dan bejat. Mereka ini adalah para pengusaha di semua bidang. Mereka inilah orang-orang yang mengajak pegawai pemerintah berkolusi untuk memperkaya diri. Mengajak para pejabat DJP menggelapkan pajak puluhan miliar per laporan korporasi.
Anehnya, negara ini mampu mengalokasikan dana untuk dikorupsi, untuk ditilap. Tapi tidak untuk keperluan pelayanan kesehatan yang sangat diperlukan rakyat miskin.
9 Maret 2023
(Penulis Jurnalis Senior Freeedom News)