Oleh : Zeng Wei Jian
Tanggal 19 April 2017, Ahok tumbang. Angkanya telak. Sorak sorai menggema. Satu republik gembira. Nuansanya beda. Ada lega, haru, sayatan hati, air mata, love, brotherhood dan solidaritas. Tumbangnya Ahok adalah kemenangan rakyat, umat Islam dan warga Jakarta.
Ahok, panglima besar buzzer, didukung orang-orang bermasalah. Setnov, Djan Faridz, Megawati, Surya Paloh, Said Aqil Sirod, Nuril, Nusron dan sebagainya.
Puluhan taipan, anjing-anjingnya, preman dan aparatus kekerasan negara semuanya berusaha memenangkan Ahok. Dengan cara apa pun. Terasa betul, penguasa berpihak kepada Ahok en Djarot (disingkat Anjrot).
Fitnah, caci-maki, character assasination, kriminalisasi sampai badai sembako mereka mainkan. Targetnya Anjrot jadi lagi.
Hampir semua artis, dari yang goblok sampe setengah gila, dari Anggun C Sasmi sampe Inul, Slank, Iwan Fals rame-rame ngebor bareng Anjrot. Artis yang eling pasti kontra Ahok, si penista Surat Al Maidah 51.
It’s no way to subvert Anjrot. Relasi Ahok dengan para taipan begitu erat. Dia gusur warga demi kepentingan bos pengembang dan antek-anteknya. Orang miskin jadi korban. Islam terjajah di negeri sendiri. Arogansi Ahok tembus langit ketika semua aksi brutalnya didukung kelas menengah tak terdidik.
Anjrot nggak pernah dengar nasehat komponis AR Rahman. Dia bilang, “To be successful, it is also important to be humble and never let fame or money travel to your head.”
Kekalahan utama Ahok adalah dia terlalu kuat. Belum pernah ada gubernur sedemikian sering injak aturan. Dia obok-obok segalanya. Bikin gaduh. TNI difungsikan jadi pengawal gusuran. Dia suruh Pasukan Katak masuk gorong-gorong. Bikin sakit hati kaum nasionalis.
Setahun lalu, saya melihat ratusan korban penggusuran Pasar Ikan. Ada ibu-ibu menggendong bayi. Sebagian besar ditampung di Masjid Keramat Luar Batang. Lainnya tidur di perahu dan di antara puing. Saya sedih sekali. Manusia, orang miskin, diperlakukan seperti itu oleh Ahok.
Padahal, “Making other people happy is a super happiness” kata Muhammad Yunus. Tapi Ahok hanya bikin gembira segelintir pengembang, menyengsarakan sedemikian banyak orang.
Sejak hari itu, saya merasa Ahok harus tumbang. Jakarta bisa rusak bila dia dibiarkan terus berkuasa.
Saat itu, Ahok sedang di puncak kejayaan. Punya ribuan buzzer. Dibeking taipan. Media yang sudah bangkrut menjadi hambanya. Semua ex aktifis 98 dan ahli provokasi massa bloking ke Ahok. Dia dikira simbol pluralisme. FPI dihitamkan. Polisi sudah di tangan. Ahok teman presiden. Semua orang takut sama dia.
Cuma ada Ratna Sarumpaet, Ahmad Dhani dan Lieus Sungkharisma. Beberapa nama kritis terhadap Ahok muncul lalu tenggelam. Nggak tahan dibully. Hanya tiga orang itu yang kuat. Mereka konsisten lawan Ahok. Maju terus sekali pun dibully, dihina, difitnah dan dibunuh karakter. Namun mereka cuma bertiga. Menghadapi sebuah tatanan zolim yang direpresentasikan oleh Ahok.
Satu hal dilupakan rezim Ahok, yaitu umat Islam dan ulama. Bersama Partai Gerindra dan PKS, mereka berjuang menegakan aqidah. Melawan neo kolonialisme ala Ahok. Para kader kedua partai, jutaan mujahid, aktifis, para tokoh nasionalis dan guru bangsa seperti Dien Samsudin, bahu membahu, berjuang setiap hari. Dan Ahok pun tumbang.
Hormat saya kepada seluruh mujahid yang telah menyelamatkan republik dari tirani Ahok.(*)
Sumber : http://www.teropongsenayan.com/61758-ahok-tumbang