MENIMBANG DUA PUTUSAN PENGADILAN YANG BERSEBERANGAN :
PERKARA BUNI YANI DAN BASUKI T. PURNAMA
Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H
Tim Ahli KAPPU Partai Bulan Bintang
Putusan Pengadilan Negeri Bandung yang memidana Buni Yani dengan pidana penjara 1 tahun 6 bulan telah menimbulkan distorsi penegakan hukum yang tidak sehilir dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang memidana Basuki T. Purnama alias Ahok. Pernyataan Ahok yang menodai agama Islam adalah hulu dari semua kegaduhan yang terjadi. Terhadap kegaduhan tersebut sudah sepantasnya dilakukan proses penegakan hukum. Di sisi lain, apa yang dilakukan oleh Buni Yani sejatinya bukanlah merupakan sebab timbulnya kegaduhan tersebut. Ketika Buni Yani dilaporkan dan kemudian dituntut serta dijatuhkan hukuman pidana, maka memiliki konsekuensi yuridis berupa adanya dua putusan Pengadilan yang saling berseberangan. Tegasnya putusan Pengadilan Negeri Bandung telah menegasikan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Seharusnya Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara menentukan perkara yang sedang dihadapi oleh Buni Yani, dan oleh karenanya menjadi patokan bagi Pengadilan Negeri Bandung.
Pengadilan Negeri Jakarta Utara telah memutuskan – dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap – bahwa pidato Ahok bukan termasuk perbuatan yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dakwaan alternatif kedua Pasal 156 KUHP. Pidato Ahok termasuk perbuatan menodai agama Islam sebagaimana dimaksudkan dalam dakwaan alternatif kesatu Pasal 156a huruf a KUHP. Dengan demikian, video yang unggah oleh Pemprov DKI Jakarta, maupun video yang ditransmisikan oleh Buni Yani bukanlah termasuk perbuatan pidana.
Penting untuk dipahami, tidaklah mungkin ada perbuatan mentransmisikan tanpa sebelumnya ada perbuatan mendistribusikan. Ketika seseorang dilaporkan – untuk kemudian diproses secara hukum – telah melakukan penyebaran konten ilegal, di sisi lain pihak yang mendistribusikan tidak diproses secara hukum, adalah suatu bentuk penyimpangan dan mencederai nilai-nilai keadilan (equality before the law). Logika hukumnya, apabila suatu konten dianggap ilegal, maka selain pihak yang turut mentransmisikan, maka kepada pihak yang mendistribusikan (in casu Pemprov DKI Jakarta) seharusnya juga dijerat dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE.
Putusan Pengadilan yang menyatakan bahwa Buni Yani terbukti secara sah bersalah melakukan mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik dengan mengacu kepada dakwaan Penuntut Umum yakni Pasal 32 UU ITE, menurut penulis sangat tidak beralasan hukum dan bahkan bertentangan dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, disebutkan bahwa video resmi Diskominfo Pemprov DKI sebagai barang bukti. Disebutkan pula, bahwa berdasarkan pemeriksaan secara laboratorium kriminalistik di Puslabfor Mabes Polri, ternyata tidak ditemukan adanya penyisipan ataupun pengurangan frame dan telah pula dibenarkan oleh Ahok. Menjadi aneh jika, Buni Yani didakwa dan kemudian dipidana dengan dasar telah melakukan perbuatan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 32 UU ITE. Merujuk pada Pasal 28F UUD 1945, setiap orang (in casu Buni Yani) berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia, termasuk melalui sistem elektronik.
Lebih aneh lagi, disebutkan bahwa apa yang dilakukan oleh Buni Yani dipandang sebagai perbuatan pidana, terkecuali adanya izin terlebih dahulu dari Pemprov DKI. Disini terjadi kesalahan penerapan hukum oleh Pengadilan. Perihal izin/persetujuan yang dimaksudkan dalam UU ITE menunjuk kepada kewajiban sebagaimana ditentukan pada Pasal 26 ayat (1) UU ITE. Bahwa penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan. Adapun perihal data pribadi seseorang, dijelaskan pada Penjelasan Pasal 26 ayat (1), bahwa perlindungan data pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (privacy rights). Hak pribadi mengandung pengertian : hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan, hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain tanpa tindakan memata-matai, hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang. Dari rumusan tersebut tidaklah relevan mengaitkan video pidato Ahok yang didistribusikan oleh Pemprov DKI dengan data pribadi seseorang (baca : Ahok). Apa yang dinyatakan oleh Ahok bukanlah termasuk data pribadi sebagaimana dimaksudkan Pasal 26 ayat (1).
Terkait tiadanya kata “pakai”, bukan kali pertama timbul dalam putusan Pengadilan Negeri Bandung, melainkan pernah menjadi polemik sebelum Ahok ditetapkan menjadi tersangka hingga berlanjut dalam proses pemeriksaan di Pengadilan. Namun, Pengadilan Negeri Jakarta Utara tidak mempermasalahkannya. Seluruh Saksi yang telah didengar keterangannya di persidangan tidak ada satu pun Saksi yang mengatakan bahwa informasi tentang adanya dugaan penodaan agama itu diperoleh dari unggahan Buni Yani. Dari informasi yang beredar, yang diunggah oleh Buni Yani adalah tidak ada kata “pakai”, sedangkan informasi yang diperoleh para Saksi ada kata “pakai”, yaitu dibohongi pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Demikian pula yang dipersoalkan oleh para Saksi dan dilaporkan kepada Kepolisian adalah ucapan yang dilihat oleh para Saksi di video youtube yang diunggah oleh Pemprov DKI Jakarta yang juga ada kata “pakai”, yaitu “dibohongi pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu.”
Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan tegas menyatakan bahwa timbulnya keresahan di masyarakat adalah akibat dari adanya ucapan Ahok tentang Surat Al Maidah : 51 yang ada di video youtube yang diunggah oleh Pemprov DKI Jakarta. Dengan demikian, Buni Yani bukanlah sumber keresahan atau kegaduhan di masyarakat, justru sumber satu-satunya ucapan adalah sang terpidana Basuki T. Purnama.
Kekeliruan penerapan hukum oleh Pengadilan menunjukkan Hakim terpaku pada penghilangan kata ”pakai” dalam trankrip yang diunggah Buni Yani, tanpa memperhatikan nilai-nilai keadilan lainnya. Kemampuan hakim demikian sebagaimana yang telah didengungkan dalam “the judge as a la bouchede la loi, as the mouth piece of the law” yang dikemukakan oleh Montesquieu yaitu hakim hanyalah menjadi corong undang-undang.