Oleh : ARIF BARATA
Intervensi berlebihan dari pihak penguasa, memungkinkan terjadinya pemaksaan kehendak dari pihak Ahok-Djarot untuk menang dengan segala cara.
Sikap tidak terima kekalahan dan kehendak menang dengan segala cara tentu memancing perlawanan dari kubu Anies-Sandi dan rakyat banyak yang ingin terjadinya perubahan total.
Persoalan pilkada dki ini bukan hanya menyangkut persoalan kompetisi memilih pemimpin di Jakarta.
Ada banyak persoalan nasional berkaitan dan terhubung langsung yang melekat mengikuti persoalan politik daerah ini.
Hal yang paling mendasar adalah gagalnya negara menegakkan keadilan, memberikan kemakmuran dan hak-hak rakyat yang semestinya didapat rakyat banyak.
Persoalan penistaan agama sepertinya menjadi anak tangga untuk sampai pada akumulasi persoalan-persoalan akut dari rakyat yang memuncak.
Penistaan agama ini menjadi kekuatan yang menyatukan akar rumput kekuatan Islam.
Sementara persoalan-persoalan kegagalan negara telah dirumuskan oleh kelompok-kelompok nasionalis, yang sudah siap untuk merubah sistem dengan mengembalikan UUD 45 asli sebagai konstitusi negara. Hal ini karena ternyata Amandemen UUD membuat negara hanya bermanfaat bagi kelompok oligarki. Sedangkan rakyat banyak hanya menjadi korban eksploitasi kekuasaan.
Kembali pada proses pilkada dki yang dibalik kubu Ahok-Djarot terhimpun dominasi kekuasaan dan modal dengan segala kehendaknya untuk menang apapun caranya.
Tentu cara kubu Ahok-Djarot ini menguatkan hasil evaluasi proses demokrasi di Indonesia yang hanya bermanfaat untuk kelompok oligarki.
Gelombang kemarahan rakyat banyak dan para pendukung Anies-Sandi kali ini akan menjadi tidak terkontrol. Dan ini akan memungkinkan terjadinya revolusi sosial.
Sebenarnya situasi seperti ini, secara awam mudah diatasi dengan melakukan proses pilkada secara jujur dan fair. Tapi ternyata hal tersebut sangat sulit dilakukan, karena sistem demokrasi liberal ini sudah terlanjur mengakar dan di Jakarta sendiri, modal untuk memenangkan Ahok-Djarot telah begitu besar dikeluarkan.
Sementara kubu Anies-Sandi yang didukung kekuatan Islam bisa dikatakan mampu menjadi harapan akan perubahan melalui proses prosedural demokrasi. Artinya rakyat banyak masih mengalah untuk ikut dalam proses demokrasi legal di Jakarta.
Akan tetapi jika ternyata, proses demokrasi yang kepercayaannya tinggal sejengkal diciderai, tentu kemarahan rakyat banyak akan memuncak dengan alasan yang menjadi konstitusional. Tentu jika ini terjadi, gelombang kemarahan rakyat ini bukan lagi berbicara soal pilkada dki, akan tetapi menjadi gelombang perubahan mendasar.
Jika pintu kecurangan ini terbuka secara vulgar (vulgar display of power), penguasa belum tentu mampu bertahan. Ini adalah kehendak sosial yang tidak terbantahkan, dimana ketika massa rakyat berkehendak, maka kekuasaan sekuat apapun akan tumbang.
(Arif Barata)