Monday, July 22, 2024
HomeHikmah dan NasehatPolitisi Golkar: Penista Agama tak boleh Lolos dari Hukuman

Politisi Golkar: Penista Agama tak boleh Lolos dari Hukuman

Oleh Syamsul Bachtiar( Sabtu, 06 Mei 2017 – 17:13:54 WIB ) di Rubrik TSBerita

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) – Politisi partai Golkar Ahmad Doli Kurnia mengatakan, Aksi Bela Islam 4 atau yang disebut Aksi Simpatik Ummat Islam 505 yang dilakukan kemarin merupakan puncak dari betapa ummat Islam sangat berjiwa besar serta mencintai NKRI dengan semua sistem kenegaraan yang berlaku.

Paling tidak, lanjut dia, dalam aksi itu ada dua aktivitas penting dan bermakna yang perlu kita cermati.

“Pertama, kata dia, adalah aktivitas ritual shalat jum’at berjamaah yang dilanjutkan do’a dan dzikir sebagai bentuk bermunajat atau bermohonnya ummat Islam agar proses hukum terhadap terdakwa penista agama Ahok diberi keputusan yang terbaik dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, melalui hakim perkara ini dapat diputuskan dengan seadil-adilnya pada Sidang Selasa, 9 Mei besok,” ujar Doli di Jakarta, Sabtu (06/05/2017).

Kedua, lanjut dia, peserta aksi dengan sengaja mengirimkan delegasi untuk menemui pimpinan MA untuk memberikan dukungan terhadap institusi penegak hukum tersebut agar bisa ikut menciptakan kondisi yang kondusif bagi proses persidangan.

“Utamanya bagi para hakim untuk bisa tetap independen, imparsial, serta bebas dari intervensi pihak manapun,” kata dia.

Secara teknis hukum, menurutnya, ummat Islam hanya meminta hakim dapat menyimpulkan dan memutuskan berdasarkan fakta-fakta persidangan yang selama ini digelar dan terbuka diketahui oleh publik.

Disamping itu, tambah dia, pimpinan MUI, NU, Muhammadiyah, ahli agama, ahli bahasa, serta ahli terkait lainnya telah menyampaikan pandangannya terhadap penistaan agama yang dilakukan Ahok.

Sebelum aksi 505, ungkap dia, Sehari sebelumnya delegasi juga telah mendatangi Ketua Komisi Yudisial menyampaikan harapan yang sama untuk ikut mengawasi hakim untuk tetap berada pada posisi mempertimbangkan rasa keadilan, hati nurani, peraturan perundangan yang berlaku.

“Di dalam mengambil keputusan, bukan berdasarkan tekanan, intimidasi, apalagi intervensi pihak manapun termasuk kekuasaan,” tandasnya.

Dengan demikian, kata dia, itu semua adalah bentuk dari apresiasi serta masih adanya kepercayaan yang kuat dari ummat Islam terhadap sistem hukum di Indonesia.

“Atas peristiwa itu, yang ingin saya tegaskan adalah; benar dan tidak bisa dibantah bahwa ummat Islam tersinggung dan marah agamanya dinistakan, kitab sucinya dilecehkan, ulamanya diremehkan dan dihina,” tegas dia.

“Benar dan tidak bisa dibantah bahwa ummat Islam turun aksi untuk membela agamanya, kitab sucinya, dan ulamanya. Juga benar dan tidak bisa dibantah bahwa ummat Islam tegas untuk menjaga wibawa, harkat dan martabat agamanya, kitabnya, dan ulamanya,” imbuhnya.

Namun, kata dia, kemarin ummat Islam juga telah menunjukkan tekadnya untuk ikut tetap menjaga wibawa, harkat dan martabat Indonesia sebagai Negara Hukum.

Tapi, kata dia, berjalannya sistem hukum, serta penegakan hukum di Indonesia, dengan tidak boleh membiarkan hukum di Indonesia kalah dengan kepentingan satu atau sekelompok orang yang ingin memporak porandakan hukum dan keadilan dengan kepentingan mereka.

Menurutnya, Bila Surat Edaran Ketua MA no. 11 tahun 1964 meminta kepada hakim untuk memberikan hukuman yang berat terhadap seorang penista agama; dan kalau sudah ada 10 penista agama sebelumnya yang tidak bebas dan dihukum setimpal. “Maka kali ini dan ke depan tidak boleh ada yang bebas dari hukuman,” tandasnya.

“Bila itu terjadi, maka bukan saja MUI, NU, dan Muhammadiyah yang mengalami delegitimasi, namun Indonesia sebagai Negara Hukum pun ikut ter-delegitimasi. Hukum kehilangan wibawa, harkat dan martabatnya di mata rakyat dan dunia,” pungkasnya. (icl)

 

 

Editor : Redaktur | teropongsenayan.com
RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments

Noersatrio Harsanto on INDONESIA AKAN DIKEPUNG RELAWAN ANIES
sukirno on BUNUH DIRI PPP