Oleh: M. Rizal Fadillah*
Bertindak sudah merasa sebagai presiden, padahal belum dilantik adalah ciri dari kesadaran diri yang rendah. Presiden kini masih Jokowi namun Prabowo telah menjalankan berbagai agenda seperti publikasi kabinet gemuk, rencana membangun koalisi besar, berkoar-koar untuk menyejahterakan rakyat dengan menafikan oposisi. Bergaya Soekarno dalam pola menghimpun semua dalam satu komando.
Sekurangnya ada tiga karakter sekaligus fenomena yang menunjukkan Prabowo bukan pemimpin yang bagus, yaitu :
Pertama, kurang peduli pada pengorbanan pendukung. Peristiwa Pilpres 2019 masih dalam ingatan. Ketika aksi memprotes kecurangan Jokowi di depan Bawaslu korban berjatuhan tetapi tidak mendapat empati yang memadai. Kasus 21-22 Mei 2019 dan juga penyiksaan dan pembunuhan 6 Syuhada FPI menjadi monumen dari ketidakpedulian Prabowo.
Kedua, egois dan abai pada pertimbangan kepentingan orang banyak. Sungguh aneh seorang pemimpin dapat dengan mudah meninggalkan pendukung dengan alasan strategi. Strategi yang semata kepentingan pribadi. Menjadi menterinya Jokowi merupakan penghancuran martabat diri. Tragedi dari sebuah ambisi. Rakyat sama sekali tidak menikmati.
Ketiga, atas keinginan untuk menjadi presiden segala cara dilakukan. Berkolaborasi dengan Jokowi melakukan kecurangan penggunaan dana bansos, otak-atik sirekap serta menerima Gibran anak haram konstitusi. Dahulu korban kini pelaku. Menjilat habis Jokowi dan mengancam oposisi.
Prabowo bukan tipe demokrat tetapi profil otokrat. Mungkin karena hidup dan dibesarkan di lingkungan aristokrat. Jenderal dengan pangkat yang melompat. Berita media tahun 1998 penuh dengan penculikan dan penghilangan orang dengan Prabowo sebagai tokoh yang terlibat. Dunia ikut melihat dan mencatat.
Rekam jejak itu mungkin menjadi sebab pengamat politik dan keamanan internasional Universitas Murdoch Ian Wilson memprediksi kepemimpinan suram Prabowo. Dalam tajuk “An election to end all election” ia menyatakan “Pada masa kepresidenan Prabowo mungkin terdapat perluasan pendekatan pemerintahan ‘tanpa opisisi’ yang dibingkai oleh kiasan nasionalis untuk menjaga persatuan”.
Rekan Syahganda Nainggolan menulis dengan merujuk pada ungkapan Prabowo di depan Rakornas PAN “bersama saya atau diam menonton” yang dikutip dari Jakarta Globe “either you are with us or watching us working”. Menurutnya, keinginan seperti Soekarno yang menjadi pemimpin semua golongan menunjukkan bahwa akhirnya Prabowo adalah seorang diktator.
Penggemukan sapi alias politik dagang sapi dengan membengkakkan kementrian adalah kekacauan fikiran kenegaraan Prabowo. Akan terjadi pemborosan keuangan negara, lalu ia lari-lari dengan tidak jelas kerja. Rakyat disuruh menonton. Betapa hebat dan dahsyatnya program “food estate” yang menggerus uang rakyat tanpa pertanggungjawaban atas kebangkrutannya. Alih-alih menuai, korupsi yang ditanam.
Berapi-api omon-omon Prabowo pada setiap momen, heroik tapi memercik muka sendiri. Mulai blunder di sana-sini dan jika tak terkendali maka akan terus berkelanjutan. Belum dilantik sebagai presiden ia sudah belepotan.
Semangat untuk membungkam kritik sama saja dengan bunuh diri.
Memang Prabowo bukan pemimpin bagus.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 12 Mei 2024