Oleh: M. Rizal Fadillah*
Medsos mulai nyeletuk bahwa Prabowo dengan Jokowi sudah tidak sejalan. Konon keduanya tidak akur. Bagi yang faham, info itu tentu disikapi dengan santai saja tidak perlu terlalu serius karena tidak ada gunanya bahkan dapat masuk dalam ruang jebakan. Indikator gampangnya adalah bahwa Prabowo belum jadi Presiden, sedangkan Jokowi masih berkuasa. Jadinya memang itu manuver murahan.
Pengaruh manuver itu pun sudah terasa dengan mulai bermunculan kelompok yang “anti Jokowi” tapi “pro Prabowo”. Seolah Prabowo adalah harapan masa depan yang berubah dari perilaku Jokowi. Kelompok model seperti ini lupa bahwa doktrin perjuangan Prabowo itu melanjutkan program dan agenda Jokowi. Bahkan Jokowi adalah “guru politik” yang hebat dalam kacamata Prabowo. Yang pasti Prabowo sukses menjadi “Presiden” itu atas jasa super besar Jokowi.
Prabowo menghadap Xi Jinping berkat inisiasi Jokowi, tidak mungkin mandiri. Saat itu Xi Jinping menyampaikan salam khusus kepada Jokowi. Lalu pembahasan dan amanat Xi Jinping tidak keluar dari kerja sama awal dengan Jokowi. Mungkin Xi ingin memastikan bahwa Prabowo sama dengan Jokowi. Khidmat pada China dan bukan sekutu Amerika.
Kampanye makan siang gratis Prabowo direalisasikan dalam APBN Jokowi, dana bansos otoritas Jokowi dialokasikan masa kampanye demi Prabowo. Prabowo pun bermanis-manis membawa Gibran demi Jokowi. Prabowo adalah Jokowi, Jokowi itu Prabowo. Menuju 20 Oktober Prabowo sangat butuh perlindungan Jokowi. Ia Presiden Republik Indonesia dan Prabowo hanya bagian dari pencuri suara.
Kereta Cepat, Rempang, nikel dan IKN adalah ikatan Jokowi atas leher Prabowo di bawah pengawasan China. Prabowo tidak akan bisa membawa perubahan atas pola kepemimpinan oligarkis bahkan tiranis Jokowi.
Prabowo sama saja dengan Jokowi. Mahir mengatasnamakan rakyat tapi sesungguhnya jauh dari rakyat. Egaliter dalam kepura-puraan. Jokowi tirani bagai seorang raja, Prabowo panglima di mana-mana. Budaya kawula dibangun demi kepatuhan egosentris. Jokowi lebih dulu menjadi musuh rakyat, Prabowo akan menyusul dengan cepat.
Soal khianat, keduanya memang berkarakter sama. Jokowi khianat kepada Megawati yang membesarkan, sementara Prabowo kepada umat yang menjadi pendukung setia. Prabowo bersimbiosis dengan Jokowi dalam posisi sebagai Menteri. Di mana ada Prabowo di situ ada Jokowi. Prabowo adalah wajah Jokowi pada alutsista dan sishankam raja.
Selama Gibran ada, jangan bermimpi untuk memisahkan Jokowi dari Prabowo, justru yang terjadi adalah manuver pura-pura agar Prabowo mendapat dukungan demi pelantikan pada Oktober 2024. Gangguan akan bergerak hebat. Prabowo Gibran dalam pandangan rakyat adalah pasangan haram. MK kini masih menyidangkan.
Musuh kebenaran, kejujuran dan keadilan itu bukan Jokowi seorang diri tetapi kebersamaan Jokowi dan Prabowo Gibran. Merupakan suatu kebodohan jika menolak Jokowi tetapi menerima Prabowo Gibran.
Itu sama saja dengan membasmi kuman dengan kuman. Kill germs with germs.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 9 April 2024