by M Rizal Fadillah
Tiga kekuatan besar Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, dan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) telah meminta Pemerintah menunda Pilkada yang sedianya dilaksanakan tanggal 9 Desember 2020. Dasarnya adalah kemanusiaan, yakni pandemi Covid 19 yang belum reda bahkan cenderung meningkat.
Alih-alih mendengar seruan yang beralasan tersebut, justru Pemerintah menegaskan untuk tidak akan menunda. inilah wujud kenekadan dan tulinya rezim atas ancaman kesehatan bagi rakyat Indonesia. Kepentingan pendek dominan. Sangat bohong pernyataan bahwa kesehatan adalah utama. Faktanya justru nafsu kekuasaan yang diutamakan. Bahkan ada nada sinis bahwa urusan anak dan mantu yang menjadi prioritas.
Kepedulian rezim pada penanggulangan Covid 19 memang rendah dan acak-acakan. Ketika masyarakat keras mendesak “lockdown”, PSBB yang diberlakukan. Belum beres PSBB sudah canangkan New Normal. Anggaran kesehatan masih tertinggal dibanding infrastruktur. Tenaga medis yang banyak gugur tidak dihargai malah menyebut masih banyak stock katanya. Sungguh menyakitkan.
Pilkada adalah proses politik yang bukan darurat pelaksanaannya. Penundaan adalah biasa dan bijaksana. Berbagai penghelatan besar masyarakat seperti kongres atau muktamar telah ditunda. Pilkada memiliki tahapan rawan baik kampanye maupun pemungkutan suara. Jikapun protokol ketat diterapkan maka ini akan menghilangkan nilai demokrasi. Rekayasa dipastikan mudah terjadi.
Indonesia dinilai buruk dalam penanganan pandemi covid 19 oleh dunia internasional. 59 Negara menutup pintu masuk warga negara Indonesia. Di saat yang negara lain menurun justru kita meningkat. Kini dengan pelaksanaan “pesta demokrasi” yang dipaksa kan untuk dijalankan maka bertambah lagi bahan bagi kecaman dunia. Indonesia pemberani, nekad, atau memang gila ?
Desakan Muhammadiyah, NU, KAMI, dan organisasi lain bukan untuk membatalkan Pilkada tetapi hanya menunda. Apa salahnya untuk dapat dipertimbangkan dan diterima.
Covid 19 itu sangat berbahaya. Satgas telah dibentuk untuk menunjukan situasi darurat. Bongkar pasang penanggungjawab pengendali pun telah dilakukan. Luhut Panjaitan kini menjadi komandan tertinggi.
Bila Pemerintah ngotot tidak hendak menunda maka pertanggungjawaban dari segala risiko yang diakibatkannya harus ditanggung, termasuk siap untuk dinyatakan bahwa perbuatannya telah melanggar Konstitusi. Siap mundur atau dimundurkan jika gagal atas kebijakan “nekad dan tuli” nya tersebut.
Rezim harus ingat bahwa tujuan bernegara yang diatur dalam Pembukaan UUD 1945 antara lain adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Nah, sebagai penyelenggara negara maka Pemerintah wajib untuk mendahulukan hal ini sebelum ngotot untuk memaksakan Pilkada.
Pilkada itu sesuatu yang sangat bisa ditunda. Kecuali jika hanya demi kepentingan keluarga. Dan itu adalah fikiran gila.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 23 September 2020