by M Rizal Fadillah
Ruhut dengan “gagah” menyalahkan Gubernur Anies Baswedan atas tertolaknya warga Indonesia untuk memasuki 59 Negara akibat masih naiknya angka penularan Covid 19. Jakarta jadi kambing hitam. Ini model kelilipan nyata dari anggota PDIP Ruhut Sitompul. Masa Gubernur yang disalahkan. Kalau urusan negara, ya Presiden dong. Kalau yang dilarang masuk itu berasal dari warga Jakarta, bolehlah.
Ruhut selalu sinis kepada Anies. Padahal Anies adalah Gubernur yang super serius menangani pandemi Covid 19. Jika kembali PSBB yang jadi alasan, Gubernur Jawa Barat pun memperpanjang PSBB untuk Bogor, Depok, dan Bekasi. Tetapi kenapa tidak dikritisi oleh Ruhut ? jawabnya mudah sekali, ya kelilipan itu. Kepada bossnya, Jokowi tentu lebih tidak kelihatan lagi. Nah yang begini namanya “blind spot”.
Pukulan atas karut marut penanganan Covid 19 adalah larangan masuk 59 Negara. Di medsos ada sindiran Indonesia hebat menjadi negara yang disegani eh ditakuti oleh dunia. Memprihatinkan sekali, padahal soal pendanaan sudah menggunakan Perppu dan UU yang dapat dikategorikan “merampok” APBN karena kebebasan memakai tanpa harus dipertanggungjawabkan secara hukum.
Ditambah kontroversi “percobaan” vaksin Cina yang ada kegagalan. Sudah mahal bermasalah.
Jika Ruhut bersikeras Anies adalah penyebab, maka baiknya dilakukan saja pengusutan secara terbuka siapa yang menjadi penyebab dan penanggungjawab sesungguhnya. Apakah Anies, Menkes, Gugus Tugas atau memang Presiden ? Komisi “fact finding” harus dibentuk.
Hal ini agar akurat desakan mundur kepada pejabat yang dinilai bertanggungjawab.
Ruhut sepertinya sangat tendensius dalam mengemukakan tuduhannya kepada Anies. Meski tidak berpengaruh kepada kedudukan Anies saat ini sebagai Gubernur, namun “pandangan kebencian” ini dinilai tidaklah patut.
Adalah hak Ruhut untuk berpendapat tentang Anies tetapi hak orang lain juga untuk menilai mengenai Ruhut. Jika Ruhut mendesak Mendagri untuk mem-Plt kan Anies, maka boleh juga orang lain mendesak agar Presiden juga di “Plt” kan. Artinya dimundurkan.
Mari kita kuat-kuatan argumen, bukan kuat-kuatan kekuasaan atau kekayaan. Siapa yang lebih patut mundur, Gubernur DKI atau Presiden RI ?
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 12 September 2020