Oleh: @JonruGinting
Sejarah adalah peristiwa di masa lalu yang sifatnya sangat objektif. Namun ketika sejarah ditulis atau diceritakan kepada khalayak, maka pasti ada unsur subjektivitas yang dibawa oleh si penulis atau si pencerita.
Karena itu, jangan heran jika kita menemukan demikian banyak versi dari sejarah apapun. Contoh konkrit adalah Kapten Pattimura yang selama ini kita kenal sebagai seorang Kristiani. Namun ternyata ada versi sejarah yang mengatakan bahwa sebenarnya beliau seorang Muslim.
Jadi manakah yang benar? Apakah Kapten Pattimura seorang Kristiani atau Muslim? Mari biarkan para ahli sejarah yang menjawabnya. Kita bukan sedang membicarakan beliau. Saya membahas topik ini hanya untuk menjelaskan bahwa versi sejarah itu sangatlah banyak.
Peristiwa G30SPKI pun pasti memiliki sejumlah versi yang berbeda-beda. Karena itu, kita harus BERANI BERKATA JUJUR bahwa film “Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI” hanyalah salah satu versi saja dari peristiwa yang sangat kelam tersebut.
Apalagi, film ini bukanlah film dokumenter. Artinya, unsur subjektivitas bahkan “adegan fiksi” atau “adegan yang didramatisir” pada film ini pasti ada. Dengan kata lain, film ini tidak bisa kita sebut “100% asli sesuai fakta sejarah”.
Karena itu, ketika Presiden Jokowi berkata bahwa kita perlu membuat versi baru dari film G30SPKI, sebenarnya itu wajar-wajar saja. Tak ada larangan untuk membuat versi baru dari sebuah sejarah, apalagi ini “hanya” sebuah film. Jadi sah-sah saja, tidak melanggar hukum, tak ada yang aneh, sehingga kita tak perlu bereaksi terlalu berlebihan. Santai aja keleus…. 😊
Namun, yang hendak saya pertanyakan dari usulan Jokowi tersebut adalah:
1. Jika nanti ada yang membuat versi baru dari film G30SPKI, apakah ada jaminan bahwa isinya lebih objektif, lebih akurat dan lebih valid dibanding film yang disutradarai oleh Arifin C Noer tahun 1984 tersebut?
2. Apakah di dalam film versi baru nanti, PKI tetap diposisikan sebagai penjahat kemanusiaan yang kejam, sadis dan biadab? Jika ya, maka saya setuju, karena faktanya PKI memang seperti itu.
3. Atau mungkinkah di dalam film versi baru tersebut, PKI justru diposisikan sebagai korban yang didzalimi dan patut dikasihani, sehingga kita harus meminta maaf pada PKI? Jika ya, maka tentu saja kita semua sangat harus tidak setuju.
Artinya:
Seperti apapun versi terbaru dari film G30SPKI yang akan dibuat, haruslah ada HARGA MATI yang tidak boleh ditawar-tawar, yakni:
1. PKI adalah organisasi terlarang di Indonesia, dan komunisme adalah ideologi terlarang di Indonesia.
2. PKI adalah penjahat kemanusiaan yang terbukti bersikap sadis, biadab dan kejam, dan mereka pernah terbukti berkhianat kepada Pancasila dan NKRI.
Jika si pembuat film versi baru tersebut patuh pada kedua rambu-rambu yang bersifat HARGA MATI di atas, maka saya kira tidak ada yang salah dengannya.
Namun jika film versi baru tersebut dibuat dengan tujuan untuk propaganda PKI, untuk melakukan pembenaran terhadap kebiadaban PKI, untuk membangkitkan kembali PKI atau ideologi komunisme di Indonesia, bahkan untuk BALAS DENDAM dari para keluarga PKI terhadap NKRI, maka inilah yang harus kita lawan rame-rame.
Tak ada tempat bagi PKI dan Komunisme di Indonesia, sebab mereka anti agama, anti Pancasila, dan pernah terbukti berkhianat terhadap NKRI.
Jika cinta NKRI, cinta Pancasila, maka kita harus membasmi PKI dan Komunisme dari bumi Indonesia Tercinta.
Jakarta, 20 September 2017
Jonru Ginting
NB: Tulisan ini bisa juga dibaca di https://jonru.com/2017/09/20/soal-film-g30spki-versi-baru-saya-setuju-dengan-jokowi-tapi/