By David C McLulloh
January 2, 2018
Tahun 2017 adalah tahunnya Ustad Abdul Somad. Siapa yang tak mengenal pria ceking, pesek, hitam, dan rambut yang telat dipotong tersebut. Dia tak dilontarkan dari Jakarta seperti para seleb, dai, dan tokoh-tokoh lainnya, baik dalam arti fisik maupun dalam arti invisible hand para oligarkis pengendali Indonesia. Dia munyeruak dari Pekanbaru, Riau, dengan usahanya sendiri. Dia tak diorbitkan media-media massa Jakarta. Dia besar dengan memanfaatkan kanal Youtube. Ya, Somad memanfaatkan media sosial. Gratis. Tak butuh siapapun. Cukup bermodalkan handphone atau gadget yang lainnya, plus “paket pulsa” — frasa yang sering ia ucapkan dalam ceramah-ceramahnya.
Somad menjadi contoh antitesa bahwa Jakarta bukanlah segalanya. Riau bukanlah wilayah yang banyak melahirkan tokoh. Letaknya terlalu jauh dari pusat-pusat dinamika di kawasan Sumatra seperti Aceh, Medan, Padang, Palembang. Namun jangan salah dari Riau kita mengenal Raja Ali Haji, penyair dan cendekiawan di masa sebelum Indonesia. Mungkin kita masih ingat dengan Gurindam Dua Belas, karya beliau, yang saat di sekolah dasar pernah diajarkan kepada kita. Itu pun lebih sering disebut judulnya saja, bukan isinya. Atau kita pernah mengenal Syarwan Hamid, juru penerang TNI yang paling baik dalam sejarah militer Indonesia. Selebihnya mungkin sebagian dari kita pernah mengenal tokoh Tabrani Rab atau Tenas Effendy. Yang satu tokoh politik yang moncer dengan teriakan Riau Merdeka, sedangkan yang satunya adalah pakar kemelayuan.
Kini, Riau memiliki Somad. Dia dosen di Fakultas Ushuludin UIN Sultan Syarif Kasim (Suska), Pekanbaru. Namun ia tak lahir di Riau. Dia lahir di Silo Lama, Asahan, Sumatra Utara, pada 18 Mei 1977. Pendidikan dasarnya di SD Al Washliyah Medan, demikian pula pendidikan menengah pertamanya di MTs Mu’allimin Al Washliyah Medan. Setelah itu ia mesantren di Darul Arafah, Deli Serdang, Sumatra Utara. Tapi setahun kemudian hijrah ke Madrasah Aliyah Nurul Falah, Air Molek, Indragiri Hulu, Riau. Kemudian kuliah di UIN Suska selama dua tahun. Pada 1998, ia meraih beasiswa untuk kuliah di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Dalam tiga tahun 10 bulan ia menamatkan S1 dengan meraih gelar Lc. Pada 2004 ia kembali meraih beasiswa untuk kuliah S2 di Institut Dar al-Hadits al-Hasaniyah, Maroko. Semua pendidikan tingginya ia selesaikan dengan cepat. Itu menunjukkan kecerdasannya, sekaligus kesungguhannya. Menilik penguasaannya terhadap kitab-kitab klasik, kontemporer, maupun sejarah memperlihatkan bahwa Somad tak melulu kuliah. Ia juga rajin mengikuti majelis-majelis ilmu yang diampu para syekh untuk belajar kitab-kitab atau ilmu-ilmu tertentu — sebuah tradisi keilmuan yang hanya ada di dunia Arab.
Somad mulai menggemari media sosial sejak di Maroko. Ia memiliki blog pribadi dan kanal Youtube pribadi. Dunia akademisnya pun ia geluti dengan baik. Ia menerjemahkan banyak buku agama dan juga menulis buku-buku agama. Ia memang pakar hadis. Sebagai dosen tentu ia berada dalam lingkungan yang baik dalam mengembangkan wawasan. Tak heran jika ia juga fasih berbicara tentang politik dan sejarah. Kecerdasan dan kesungguhannya terlihat dari kemampuan otaknya dalam mengutip isi kitab, bahkan silsilah kitab, orang, dan rantai guru-murid. Perhatiannya yang luas juga ia perlihatkan ketika mampu menjelaskan para ulama Indonesia dan kutipan-kutipan pendapatnya serta concern keilmuannya. Ia bisa menjelaskan perbedaan KH Maimun Zubair dengan Gus Mus atau lainnya.
Ya, salah satu keunggulan Somad dibandingkan dengan dai-dai lainnya adalah pada kemampuannya merujuk kitab dan dalil dengan kutipan yang panjang, bahkan latar belakangnya. Ini jika menyangkut data atau pendapat tertentu. Langgam Melayu memang enak di telinga dan nyaman di hati. Apalagi jika ditingkahi dengan pantun dan syair. Ini hanya bisa dimiliki oleh orang Riau, apalagi Bahasa Indonesia memang bersumber dari Melayu Riau. Ini pula yang dulu menjadi keunggulan Syarwan Hamid saat menjadi juru bicara tentara. Ada rima dan metafora.
Suara Somad yang merdu dan kefasihannya dalam Bahasa Arab membuat ceramahnya menjadi pertunjukan sendiri saat ia mendendangkan syair atau membacakan ayat-ayat Alquran. Namun ada dua hal yang membuat ceramahnya menjadi segar. Pertama, humornya. Ceramahnya yang panjang itu diselingi oleh banyak humor. Tak butuh ia membuat cerita panjang untuk menciptakan canda yang menyegarkan. Tapi cukup dengan satu kalimat, saat mengomentari materi ceramahnya sendiri. Ini membutuhkan kecerdasan tersendiri. Butuh selera humor dan kecepatan berpikir. Selingan humor ini sangat dibutuhkan di sosmed. Bayangkan orang menonton Youtube di layar hp yang kecil, kualitas gambar yang tak prima, dan sering terkena buffer akibat sinyal yang buruk maka betapa membosankannya mendengarkan orang bicara panjang di Youtube. Karena sebetulnya tiga menit pun sudah cukup panjang. Tapi publik bisa satu jam mendengarkan Somad berceramah. Sehingga humor-humor itu sudah menjadi karakter berdakwah di era milenial. Humor memang sudah menjadi kelaziman dalam pidato yang panjang, termasuk dakwah di kampung-kampung, tapi intensitasnya tak serapat Somad. Ini yang membuat dai-dai sosmed lainnya tak semoncer Somad. Somad telah menjadi anak kandung dai era milenial.
Kedua, sikapnya yang independen. Salah satu keunggulan orang yang dibesarkan oleh sosial media adalah sikap independen. Hal itu bisa dilihat dari dunia sosmed yang riuh. Ini karena orang-orang itu bebas menulis atau berbicara apa saja. Bahkan orang yang pendiam pun bisa menjadi rame jika muncul di sosmed. Ini karena sifat sosmed yang impersonal dan independen. Hal itu misalnya berbeda dengan dai yang dibesarkan oleh televisi atau majelis pengajian. Televisi memiliki banyak aturan, apalagi di tengah kontrol opini yang ketat maka garis politik pemilik dan segmentasi pasar akan mengarahkan si dai untuk bergaya bagaimana dan harus bicara apa saja. Demikian pula orang yang dibesarkan di majelis pengajian. Ia akan terikat pada selera tertentu. Ini pula yang bisa dijelaskan mengapa Somad kena gangguan di Bali dan di PLN. Majelis itu memiliki keseimbangan yang terbatas dan terikat. Berbeda dengan dunia sosmed yang bebas, asalkan tidak memfitnah dan melanggar hukum.
Somad, sebagai orang yang dibesarkan di sosmed, begitu lepas saat berbicara. Bahkan ada kalanya kelebihan, seperti saat berbicara “hidung pesek” terhadap Rina Nose – aih rupanya nose alias hidung memang menjadi brand tersendiri bagi Rina. Salah satu ciri ulama Sumatra adalah tak ada tabu berbicara politik. Hal itu bisa dilihat pada ulama-ulama di Minang dan Aceh. Ini karena di Sumatra ada pepatah “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”. Sehingga sejarah ulama dan kekuasaan sudah menyatu dalam kesultanan-kesultanan di Sumatra. Varian ini tentu berbeda dengan sejarah dan tradisi di Jawa, di mana ulama tak ada di jantung kekuasaan. Ulama di keraton-keraton Jawa – kecuali Cirebon, Banten, Demak, dan Pajang yang bukan mainstream di peradaban Jawa – berada di pinggiran kekuasaan, bahkan menjadi pelegitimasi sultan belaka. Karena itu tradisi ulama di Jawa adalah melayani kekuasaan.
Somad tak ada dalam tradisi seperti di Jawa itu. Sehingga ia berbicara lepas saja saat berbicara politik dan kekuasaan. Di tengah situasi politik saat ini – terjadi ketegangan politik antara santri dan kekuasaan – maka ceramah Somad menjadi kontekstual. Ini mengingatkan kita pada ceramah Zainuddin MZ, dai Betawi. Betawi berada dalam tradisi Banten, karena itu Zainuddin sangat fasih berbicara politik – hal ini bisa dijejaki pada ulama besar Betawi KH Abdullah Syafii. Zainuddin sendiri mengaku gaya ceramahnya mengikuti Buya Hamka yang logis, diselingi humor mengikuti KH Idham Chalid, dan bergaya orator seperti Bung Karno. Namun Zainuddin adalah tipikal dai yang dibesarkan podium dan kehidupan politik yang represif. Karena itu Zainuddin memompakan perlawanan. Tak heran jika suatu masa ia berkolaborasi dengan penyanyi Iwan Fals dan penyair WS Rendra – keduanya mewakili figur cadas.
Setelah Zainuddin kita mengenal Aa Gym. Aa Gym besar dalam tradisi dakwah di majelis taklim. Gayanya akrab dan keseharian. Ia juga mewarisi varian Sunda yang lembut dan ngepop. Saat itu awal era reformasi. Indonesia dalam kondisi zigzag. Butuh dai yang bisa menjadi penenang dan pemberi motivasi dalam kehidupan yang tak menentu. Derai lelehan air mata sering menghiasi jamaahnya setiap mendengarkan ceramah Aa Gym. Setiap masa memang memiliki tantangannya tersendiri. Dan Somad mewariskan dakwah era milenial: egaliter, independen, bebas, berisi, dan menghibur. Sekarang eranya berekspresi sambil tertawa dan dalam keimanan. Itulah Somad, Dai Era Melanial. Jadi, tahun 2018 ini tak perlu ada yang baper.