Oleh: Syukri Wahid *)
Pak Presiden, sadarkah jika dahulu umat Islam tak berpolitik, maka kita tidak akan menjadi keluarga besar bernama Indonesia?
Pak Presiden, ajakanmu memisahkan agama dari politik adalah justru ahistoris dengan para pendahulu kita. Sebab, saham terbesar kebangkitan dan kemerdekaan ini elemen agama, tuanku.
Pak Presiden, sadarkah engkau bahwa usia agama lebih lama dari pada usia negara kita. Dahulu Imam Bonjol, pangeran Dipenogoro, Teuku Umar, Cut Nyak Din, Panglima Polim, Pangeran Badaruddin, Sultan Hasanuddin, dan lainnya, belum mengenal bendera Merah Putih.
Belum mengenal lagu Indonesia Raya dan Pancasila. Mereka angkat senjata usir para penjajah karena perintah agama tuanku, belum ada pemilu apalagi pilkada kala itu, tuanku.
Pak Presiden, pernyataanmu pisahkan agama dan politik agar rakyat tahu mana agama dan mana politik? Itu bermakna banyak tuan presiden. Pertama agama dianggap “sumber masalah”, ketika dia masuk ke politik.
Kedua, menganggap agama terlalu sakral dan suci dan tidak pantas masuk ke politk yang kotor. Artinya, agama adalah untuk orang suci dan politik adalah untuk orang kotor, jadi politisi itu kotor, tuanku.
Pak Presiden, yang ketiga, menuduh agama hanya mengatur masalah selain politik, padahal politik adalah pintu kekuasaan yang denganya Anda bisa atur semuanya, termasuk khatib Jumat pun Anda akan akreditasi.
Pak Presiden, Anda letakkan agama jauh dari politik, tapi saat minta dukungan politik, Anda masuk ke basis pemilih agama. Bahkan, tak sungkan Anda bersurban, pimpin shalat jamaah, dan dalam pembukaan pidato kampanye dengan bumbu kalimat Arab biar kesan Islami dan ibu negara berjilbab. Apakah itu yang namanya memisahkan agama dari politik?
Pak Presiden, agama terlalu privat bagi pemeluknya melebihi negara sekalipun, dia masuk mengatur kehidupan seorang mulai masuk WC, cara tidur, cara potong kuku saja diatur. Apalagi politik sebagai alat yang mengatur kekuasaan.
Tuanku Presiden, berhentilah membuat jarak antara agama dengan politik, karena itu semakin menyakitkanmu sendiri. Nanti saat pilpres kau akan angkat isu-isu simpatik beragama.
Pak Presiden, politik itu benda netral dan yang membuatnya menjadi berwarna adalah siapa yang mengendarakannya. Agama adalah moralitas tapi politik kekuasaan itu legalitas, salahkah orang beragama hanya ingin mempertemukan antara moralitas dengan legalitas?
Jika kau pisahkan agama dengan politik, maka bagaimana status partai-partai yang berlandaskan dan bercorak agama? mau engkau bubarkan?
Berhentilah menyakiti umat presidenku, karena kini engkau pimpin mereka semuanya.
Pertanyaanku padamu tuanku, “Bisakah engkau pisahkan rasa manis dari gulanya? rasa dingin dari butiran saljunya? Jika engkau bisa pisahkan, maka baru bisa engkau pisahkan agama dari politik.
*) Pegiat Sosial Politik
sumber republika.co.id