Syi’ah di Indonesia bukan saja tafdhili, rafad, tapi juga ghuluw (ekstrim) bahkan takfiri
Hidayatullah.com–Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) hari Sabtu (06/01/2018) pagi menghelat acara “Pre-Launching” buku Dr. Syamsudin Arif yang berjudul: “Bukan Sekadar Madzhab: Oposisi dan Heterodoksi Syi’ah.”
Acara yang diselenggarakan dari pukul 10.00-12.00 ini berlangsung hangat dan padat peserta.
Dalam pembukaannya, moderator menjelaskan bahwa di antara kelebihan buku yang ditulis oleh Peneliti Insists ini adalah: sumber-sumber yang dijadikan referensi tulisan diambil langsung dari kitab aslinya, sehingga bisa dipertanggungjawabkan. Selain itu, pembaca akan disajikan sumber-sumber otoritatif dari orientalis-orientalis mengenai Syi’ah. Buku ini pada gilirannya diharapkan menjadi rujukan otoritatif utuh mengenai Syi’ah.
Buku ini lahir –sebagaimana paparan penulis dalam pembukaannya- sebenarnya bukan sekadar kajian literatur belaka (atau bahkan dugaan saja), tapi sebagian besar bersumber dari pengalaman beliau saat berinteraksi dengan tokoh atau teman yang berideologi Syi’ah. Buku pertama yang beliau baca mengenai Syi’ah adalah kitab “al-Murâja’ât” karya Sayyid Abdul Husain Sayarafuddin Al-Musafi, yang diberi oleh orang Syi’ah. Bahkan, pada tahun 1992 hampir saja beliau berangkat kuliah ke Qom, Iran. Namun akhirnya tidak jadi.
Setelah memberikan prolog, intelektual muslim kelahiran Jakarta 19 Agustus 1971 ini memfokuskan bahasan pada tiga poin penting: hakikat, klasifikasi dan ideologi Syi’ah. Menurut beliau, kebanyakan orang Indonesia mengerti Syi’ah pasca revolusi Iran, yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini (1979). Peristiwa ini membuat orang kagum dan penasaran bahkan ada cendikiawan Indonesia tertarik dengannya sehingga terdorong untuk mempelajari Syi’ah. Namun, hakikat Syi’ah sesungguhnya, masih belum banyak yang menyadari dan mendalami.
Sebelum ditaklukkan Islam, Persia dikenal sebagai peradaban yang agung. Kebesaran peradaban ini sudah banyak dicatat dalam literatur sejarah. Kemegahan ini, di zaman Abu Bakar dan selanjutnya (Umar dan seterusnya), lambat laun jatuh bahkan lenyap akibat gencarnya gerakan ekspedisi ‘futuhat’ ke wilayah kerajaan Persia. Waktu Iraq-Iran masuk kawasan Persia.
Menariknya, pada waktu itu pasukan muslim cuma infantri dan kavaleri berkuda sedangkan tentara Persia memakai gajah. Karena itu mereka heran kenapa orang Arab Baduwi bisa mengalahkan pasukan yang sudah terlatih. Kepongahan Kisra Yazdegird III yang pernah merobek-robek surat Rasulullah pada tahun ketujuh, pada akhirnya membawa kehancuran peradaban Persia.
Sesudah penaklukan Persia, menurut catatan Ustadz alumni Ponpes Darus Salam Gontor ini di wilayah Persia terjadi konversi masal. Tentara dan penduduk Persia berbondong-bondong masuk Islam. Selama terjadi konversi terjadi hal penting: muncul gerakan ‘syu’ubiyah’ (nasionalisme, sentimen kebangsaan) Persia. Ada usaha untuk memutus kesadaran keumatan. Gerakan syu’ubiyah ini juga dikembangkan di Mesir dan Turki. Sisi Islamnya dikesampingkan, sedangkan sisi kebangsaan diangkat dan ditonjolkan. Jika meminjam bahasa M. Natsir adalah nativisme.
Kemudian, terjadi krisis identitas. Orang-orang Persia yang baru masuk Islam dihasut untuk lebih menonjolkan kebangsaannya dari pada keislaman. Sebagai contoh misalnya ungkapan, “Kita ini Islam, tapi `kan kita orang Persia.” Jadi, masyarakat difokuskan pada masalah nasionalisme. Rupanya, cara-cara demikian juga terpakai di negara-negara muslim. Di Indonesia sendiri ada istilah “Islam Nusantara”. Ada juga ungkapan, ‘Saya orang Islam Nusantara (Indonesia), bukan Islam Arab.” Seolah-olah antara nasionalisme dan keislaman berbenturan.
Ketika nasionalisme dikobarkan, orang-orang Persia ini dalam merealisasikan gerakannya dengan cara menempel pada gerakan pemberontakan. Pilihannya ada dua: kalau tidak ke Syi’ah, ya ke Khawarij. Contoh gerakan yang mencoba menggunakan nasionalisme seperti Ibrahim b. Mamsad yang ingin menghidupkan kembali keagungan Persia.
Membicarakan tentang Syi’ah, sebagaimana paparan Syamsuddin Arif, tidak bisa lepas dari legenda Shahr Banu. Putri Yazdegerd III ini dinikahkan dengan Sayyidina Husain bin Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Sedangkan putri lainnya, Izdundad dinikahkan Khalifah Umar kepada Bustenai bin Hunainai (orang Yahudi), seorang pejabat di Resh Galuta. Sedangkan putera Raja Persia terakhir sempat menyelamatkan diri ke wiayah China. Akhirnya konon menikah dengan salah seorang puteri raja China.
Dari legenda ini, tidak mengherankan jika Syi’ah dalam sejarah lebih memilih garis keturunan Husain daripada Hasan, apalagi anak Ali yang lain. Di samping itu, mereka juga dekat dengan orang Yahudi karena Izdundad dinikahi oleh orang Yahudi. Dengan demikian, tidak berlebihan jika dikatakan: Syi’ah adalah perkawinan antara Islam dan Iran (Persia).
Selain itu, yang cukup ironis adalah Syiah mereduksi agama Islam menjadi Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Sehingga, anak Ali yang bernama Muhammad bin Hanafiyah misalnya, tidak dimasukkan dalam Ahli Bait. Lebih dari itu, bagi orang Syi’ah, jika tidak mendukung ideologi mereka, maka tidak dianggap Islam. Dalam Syi’ah juga ada beberapa ritual yang bernama: Ta’ziyeh, Aza-e Husayn, Nakhl Gardani dan ritual lainnya.
Setelah membincang sedikit tentang perjalanan sejarah, Dr. Syams mengatakan, “Inti dari Syi’ah adalah imamologi.” Yang menjadi pertanyaan: anak Ali bukan hanya Hasan dan Husain. Ada lagi Muhammad bin Hanafiyah, mengapa sekarang tidak dimasukkan sebagai Ahli Bait? Mengapa dalam dua belas imam dia tidak dicantumkan? Yang dimasukkan cuma jalur Husain, bukan Hasan? Jawabannya jelas, karena Husain nikah dengan puteri Raja Persia. Dengan bahasa lain, ada hubungan ‘mushahara’ (pertalian perkawinan) antara anak bangsawan Qurays (Husain) dengan bangsawan Persia (Shahr Banu).
Agar tidak salah dalam memahami Syi’ah, Dr. Syams menyebutkan pembagian Syi’ah, yaitu: terminologis (Syiah sebagai istilah secara bahasa semacam fans atau penggemar), politis (sudah mendukung seperti Abdullah bin Abbas yang mendukung Ali pada perang Shiffin) dan ideologis (yang terbagi tiga Tafdhil [mengutamakan], Rafd [menolak] dan Ghuluw [ekstrem]).
Klasifikasi lain yang disampaikan beliau terkait pembagian Syi’ah adalah sebagai berikut: Rafidhah (Yang terbagi menjadi: Zaidiyah, Imamiyah, Kasyaniyah). Imamiyah sendiri terbagi menjadi dua yaitu: Ismailiyah-Itsna ‘Asyariyah. Dalam Syi’ah Imamiyah juga ada pembagian berikut: Tafdili (pengutamaan), Taqdisi (pengkultusan), dan Takfiri (pengkafiran).
Setelah menyampaikan beberapa bagian Syi’ah, ustadz yang pernah mengabdi di Pesantren Majlis Qurra’ wa Al Huffaz Sulawesi ini mempertanyakan, “Syiah sekarang ‘ghuluw’ (berlebihan) apa tidak?” Menurut penelitian beliau, Syi’ah yang ada sekarang bukan saja ‘tafdhil’ dan ‘rafd’ tapi juga ‘ghuluww’. Bukan sekadar mengutamakan, melaknat tapi juga sampai pada taraf mengafirkan.
Setelah itu, cendekiawan yang judul disertasinya “Ibn Sina’s Cosmology: A Study of the Appropriation of Greek Philosophical Ideas in 11th Century Islam” ini, juga mengajukan pertanyaan menarik: “Sejak kapan orang Iran menjadi Syi’ah? Paadahal, sebelumnya, Imam Bukhari, Muslim, Tirmidzi dll adalah orang Iran tapi mereka bukan Syi’ah. Jawabannya adalah sejak berdirinya Dinasti Shafawiyah.
Di akhir acara, salah satu pertanyaan menarik dari audiens adalah: “Syiah di Indonesia masuk pada bagian yang mana?” Menurut Cendekiawan Muda yang pernah menimba ilmu di ISTAC ini, Syi’ah di Indonesia bukan saja tafdhili, rafad, tapi juga ghuluw (ekstrim) bahkan takfiri, tapi masih dibungkus supaya tidak kelihatan.” Dari kajian ini, semoga pembaca lebih memperdalam kajian tentang Syi’ah. Buku teranyar Dr. Syams ini bisa manjadi referensi memadai insya Allah.*/kiriman Mahmud B Setiawan
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar